Senin, 06 Maret 2017

Makalah Syariat Islam di Aceh



Makalah Syariat Islam Di Aceh SYA4701



DASAR HUKUM PELAKSANAAN SYARIAT ISLAM DAN SYARIAT ISLAM DI ACEH



Di Susun Oleh :

Kelompok I

1.      Heri Gunawan (212015006)
2.      Nova Riski Imanda (212015022)


Program Studi : Hukum Tata Negara


Dosen Pembimbing :  Dr.H.Syamsuar,M.Ag (551039)





KEMENTERIAN AGAMA REPUBLIK INDONESIA
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
 TEUNGKU DIRUNDENG MEULABOH
2017




KATA PENGANTAR


Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan Makalah ini tepat pada waktunya yang berjudul “DASAR HUKUM PELAKSANAAN SYARIAT ISLAM DAN SYARIAT ISLAM DI ACEH”. Selesainya penyusunan ini berkat bantuan dari berbagai pihak oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis sampaikan terima kasih kepada yang terhormat :

1.      Dosen pengampu mata kuliah Syariat Islam di Aceh SYA4701 yang telah memberikan tugas, petunjuk,  kepada kami sehingga kami termotivasi dan menyelesaikan tugas ini.

2.      Secara khusus penulis menyampaikan terima kasih kepada keluarga tercinta yang telah memberikan dorongan dan bantuan serta pengertian yang besar kepada penulis, baik selama mengikuti perkuliahan maupun dalam menyelesaikan makalah ini.

Menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini. Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir.





Meulaboh, 27 Februari 2017


                                                  penyusun



DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................. i
DAFTAR ISI............................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN......................................................................................... 1
A.    Latar Belakang................................................................................................ 1
B.     Rumusan Masalah........................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN.......................................................................................... 2
A.    Pengertian Syariat Islam.................................................................................. 2
B.     Pengertian Qanun............................................................................................ 3
C.     Syariat islam sebagai hukum positif di aceh.................................................... 4
D.    Pelaksanaan hukum cambuk di Aceh.............................................................. 5
BAB III PENUTUP.................................................................................................. 7
A.    Kesimpulan...................................................................................................... 7
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................... 8



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Sebagai komitmen bersama atas perdamaian antara Pemerintahan RI dengan Gerakan Aceh Merdeka ( GAM ), maka dilahirkanlah Undang-Undang No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh ( UUPA ). UUPA merupakan harapan  baru bagi masyarakat aceh untuk mewujudkan kesejahteraan dalam perdamaian abadi, UUPA sendiri terdiri dari 40 Bab dan 273 Pasal.
Acehnologi Merupakan salah satu jawaban mengapa aceh itu istimewa dan khusus. Berdasarkan undang - undang otonomi khusus aceh dan UUPA, dalam hubungannya dengan syariat islam, maka ketentuan - ketentuan hukum islam yang berkaitan dengan hukum privat seperti perkawinan, zakat, tetap berlaku. Adapun ketentuan dengan hukum public dalam hal ini jinayat (hukum pidana islam) sampai saat ini belum lah berlaku, disebabkan rancangan undang - undang tentang Qanun jinayat dari DPRA (Tingkat provinsi aceh) belum lah ditandatangani oleh gubernur. Adapun ketentuan hukum public antara lain Qanun maisyir (judi), khamar (minumankeras), khalwat (mesum) sudah ditandatangani oleh gubernur sebagai Qanun yang dinyatakan berlaku di aceh.
Dalam hubungannya dengan syariat islam di aceh, mahkamah syariyah aceh pada tingkat provinsi dan mahkamah syar’iyah pada tingkat kota madya/kabupaten merupakan lembaga yang berwenang megadili perkara - perkara pelanggaran berkaitan dengan Qanun yang sudah ditandatangani.

B.     Rumusan Masalah
Bagaimanakah ruang lingkup dan dasar hukum pelaksanaan syariat islam dan syariat islam di aceh.



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Syariat Islam
Syariat ( legislasi ) adalah semua peraturan agama yang ditetapkan oleh ALLAH untuk kaum muslimin, baik yang ditetapkan dengan Al-Qur’an maupun dengan sunnah Rasul.[1]
Al-Qur’an memang diturunkan untuk dijadikan sebagai petunjuk bagi orang yang mempunyai akal, pikiran dan hati sanubari.[2]
Menurut Ali dalam Nurhafni dan Maryam, syariat islam secara harfiah adalah jalan (ketepian mandi), yakni jalan lurus yang harus diikuti oleh setiap muslim, syariat merupakan jalan hidup muslim, syariat memuat ketetapan Allah dan Rasulnya, baik berupa larangan maupun suruhan yang meliputi seluruh aspek manusia.[3]
Sumber syari’ah orang islam adalah semua praktek atau ajaran rasulullah yang termaktub dalam Al-Qur’an dan Sunnah.[4]
Jadi dapat disimpulkan bahwa syariat islam merupakan keseluruhan peraturan atau hukum yang mengatur tata hubungan manusia dengan Allah, manusia dengan manusia, manusia dengan alam (lingkungannya), baik yang diterapkan dalam Al-Qur’an maupun hadis dengan tujuan terciptanya kemashlahatan, kebaikan hidup umat manusia di dunia dan di akhirat.
Dalam hunbungannya dengan syariat islam yang berlaku di aceh, dapatlah dijelaskan lembaga - lembaga yang memiliki wewenang sebagai berikut :
a.       Dinas syariat islam.
Dinas syariat islam provinsi diresmikan pada tanggal 25 feb 2002. Lembaga inilah yang mengatur jalannya pelaksanaan syariat islam. Tugas utamanya adalah menjadi perencana dan penanggung jawab pelaksanaan syariat islam di NAD.
b.      Majelis permusyawaratan ulama (MPU)
Lembaga ini merupakan suatu lembaga idependen sebagai suatu wadah bagi ulama – ulama untuk berinteraksi, berdiskusi melahirkan ide – ide baru di bidang syariat. Kaitannya dalam pelakanaan syariat islam adalah lembaga ini bertugas memberikan masukan pertimbangan, bimbingan dan nasehat serta saran dalam menentukan kebijakan daerah dari aspek syariat islam, baik kepada pemerintah daerah maupun kepada masyarakat.
c.       Wilayatul Hisbah (WH)
Wilayatul hisbah merupakan lembaga yang berwenang memberitahu dan mengingatkan anggota - anggota masyarakat tentang aturan-aturan yang ada yang harus di ikuti, cara menggunakan dan menaati hukum tersebut, serta perbuatan yang harus di hindari karena bertentangan dengan peraturan.
d.      Mahkamah syariyah.
Mahkamah syariyah merupakan pengganti pengadilan agama yang sudah di hapuskan. Mahkamah ini akan mengurus perkara muamalah (perdata), jinayah (pidana) yang sudah ada Qanunnya. Pendek kata lembaga ini adalah pengadilan yang akan mengadili pelaku pelanggaran syariat islam. Tingkat kabupaten dibentuk mahkamah syariyah dan tingkat provinsi mahkamah syariah provinsi yang diesmikan pada tahun 2003.
B.     Pengertian Qanun
Qanun adalah peraturan daerah yang dibuat oleh pemerintah aceh dan disahkan oleh DPR yang di tanda tangani oleh Gubernur (Tingkat propinsi) dan bupati atau walikota pada daerah tingkat dua. Dasar berlakunya Qanun adalah undang - undang tentang otonomi khusus Aceh, Dalam undang - undang nomor 18 disebutkan bahwa mahkamah syar’iyah akan melaksanakan syariat islam yang di tuangkan ke dalam Qanun terlebih dahulu. Qanun merupakan peraturan yang dibuat oleh pemerintah daerah Aceh untuk melaksanakan syariat islam bagi pemeluknya di Aceh.[5]
Adapun Qanun yang telah diberlakukan antara lain :
1.      Qanun nomor 11 tahun 2002 tentang pelaksanaan syariat islam bidang aqidah, Ibadah dan syariat islam.
2.      Qanun nomor 12 tahun 2003 tentang larangan khamar (minuman keras), pelaku yang mengkonsumsi khamar akan dijatuhi hukuman cambuk 40 kali. Hakim tidak di beri izin untuk memilih (besar kecil atau tinggi rendah) hukuman. Bagi yang memproduksi khamar  dijatuhi hukuman ta’zir berupa kurungan paling lama satu tahun, paling sedikit 3 bulan dan denda paling banyak Rp. 75.000.000 (tujuh puluh lima juta rupiah) dan paling sedikit Rp.25.000.000 (dua puluh lima juta rupiah).
3.      Qanun nomor 13 tahun 2003 tentang larangan maysir (perjudian).
4.      Qanun nomor 14 tahun 2003 tentang larangan khalwat (perbuatan mesum).
5.      Qanun nomor 7 tahun 2004 tentang pengelolaan zakat.

C.    Syariat Islam Sebagai Hukum Positif Di Aceh
Syariat islam di aceh berlaku sebagai hukum positif sejak zaman kerajaan aceh Darussalam yang mencapai puncak kejayaan pada jaman sultan iskandar muda. Syariat islam tersebut berlaku dalam seluruh aspek kehidupan bernegara baik berdasarkan hukum private yang meliputi Fiqih, yaitu berkaitan dengan kewajiban secara perorangan, maupun hukum public yang berupa hukum pidana islam (Jinayat), maisyir (Judi), khamar (minuman keras), maupun khalawat yaitu berdua-duaan antara laki-laki dengan perempuan yang bukan mukhrim.
Dasar hukum pelaksanaan syariat islam di Aceh adalah UU no 44 tahun 1999 dan UU no 18 tahun 2001. Dalam undang-undang nomor 44 syariat islam didefinisikan sebagai semua aspek ajaran islam.
Seiring dengan berjalannya waktu sampai dengan era kemerdekaan Negara republic Indonesia, aceh dinyatakan oleh pemerintah pusat sebagai daerah istimewa yang memberlakukan hukum islam sebagai hukum positif atau hukum yang seharusnya (ius constituendum) yang meliputi maisyir (Judi), khamar (minuman keras), dan khalawat. Namun pada kenyataannya tidak menjadi hukum yang berlaku (ius constitutum), hal inilah yang memicu masyarakat aceh menuntut diberlakukannya kembali hukum islam dan sebagai salah satu penyebab aceh untuk merdeka.
Dari seluruh rangkaian sejarah tuntutan masyarakat aceh akhirnya pemerintah pusat memberikan otonomi khusus berdasarkan undang - undang otsus yang disebut undang – undang pemerintahan aceh (UUPA). Dan pada akhirnya pemerintah daerah atau yang disebut pemerintah aceh membuat peraturan daerah yang disebut Qanun dan secara resmi menjadikan hukum islam sebagai hukum positif yaitu hukum public yang meliputi maisyir (Judi), khamar (minuman keras), dan khalawat.
Proses pelaksanaan hukum public tersebut di atas dilaksanakan oleh polisi syariat dan polri sebagai penyelidik dan penyidik, jaksa sebagai penuntut umum dan pengadilan agama yang disebut sebagai mahkamah syariyah sebagai yang berwenang mengadili. Dengan ancaman hukuman cambuk bagi para pelanggarnya.

D.    Pelaksanaan Hukum Cambuk Di Aceh
Setelah berlakunya hukum pidana islam yang meliputi meliputi maisyir (Judi), khamar (minuman keras), dan khalawat (mesum), bagi pelaku tindak pidana diatas yang telah diutus oleh mahkamah syariyah dan dinyatakan berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) maka pelaksanaan putusan mahkamah syar’iyah akan dilaksanakan oleh jaksa penuntut umum dan dibantu oleh algojo (tukang cambuk) yang dilaksanakan dihalaman masjid sesudah shalat jumat.
Pelaksanaan hukum cambuk tersebut dihadir oleh para penegak hukum, dan masyarakat aceh yang ingin menyaksikannya. Hukuman cambuk merupakan salah satu hukum yang berlaku dalam syariat islam NAD. Ketentuan dalam hukum cambuk antara lain[6]:
1.      Terhukum dalam kondisi sehat. 
2.      Pencambuk adalah wilayatul hisbah yang di tunjuk jaksa penuntut umum.
3.      Cambuk yang digunakan adalah rotan dengan diameter 0.75 s/d 1.00 cm.
4.      Jarak pencambuk dengan terhukum kira-kira 70 cm.
5.      Jarak pencambuk dengan orang yang menyaksikan paling dekat 10 meter.
6.      Pencambukan di hentikan jika menyebabkan luka, di minta dokter atas pertimbangan medis, atau terhukum melarikan diri.
7.      Pencambukan akan dilanjutkan setelah terhukum dinyatakan sehat atau setelah terhukum menyerahkan diri atau tertangkap.
Berdasarkan hukuman cambuk tersebut di atas harus diakui bahwa kesadaran hukum masyarakat aceh semakin meningkat dengan menurunnya angka kriminalitas dan tindak pidana yang terjadi.
BAB III

PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dasar hukum pelaksanaan syariat islam di Aceh adalah UU no 44 tahun 1999 dan UU no 18 tahun 2001. Dalam undang-undang nomor 44 syariat islam didefinisikan sebagai semua aspek ajaran islam. Proses pelaksanaan hukum public tersebut di atas dilaksanakan oleh polisi syariat dan polrisebagai penyelidik dan penyidik, jaksa sebagai penuntut umum dan mahkamah syariah sebagai yang berwenang mengadili dengan ancaman hukuman cambuk bagi para pelanggarnya.
Setelah berlakunya hukum pidana islam yang meliputi meliputi maisyir (Judi), khamar (minuman keras), dan khalawat (mesum), bagi pelaku tindak pidana diatas yang telah diutus oleh mahkama syariyah dan dinyatakan berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) maka pelaksanaan putusan mahkamah syar’iyah akan dilaksanakan oleh jaksa penuntut umum dan dibantu oleh algojo (tukang cambuk) yang dilaksanakan dihalaman masjid sesudah shalat jum’at.



DAFTAR PUSTAKA

Al Yasa Abu Bakar. (2004). Bunga Rampai Pelaksanaan Syariat Islam (Pendukung Qanun Pelaksanaan Syariat Islam). Banda Aceh: Dinas Syariat Islam.
Al Yasa Abu Bakar. (2006). Syariat Islam Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam - Paradigma, Kebijakan dan Kegiatan. Banda Aceh: Dinas Syariat Islam.
Kamaruzzaman Bustaman Ahmad, Ph.D. (2017). ACEHNOLOGI volume 1. Banda Aceh: Bandar Publishing.
Muhammad Yusuf Musa. (1988). islam: suatu kajian komprehensif. jakarta: Rajawali Press.
Nurhafni; maryam;. (2006). Pro dan Kontra Penerapan Syariat Islam di NAD. Jakarta.



[1] (Muhammad Yusuf Musa, 1988)hal 3.
[2] (Kamaruzzaman Bustaman Ahmad, Ph.D, 2017)hal 176.
[3] (Nurhafni; maryam;, 2006)hal 3
[4] (Kamaruzzaman Bustaman Ahmad, Ph.D, 2017)hal 191.
[5] (Al Yasa Abu Bakar, 2004)hal 4.
[6] (Al Yasa Abu Bakar, 2006)hal 7.