KONSEP
FIQIH SIYASAH PERSPEKTIF
MUHAMMAD
IQBAL, MUSTAFA KEMAL ATATURK DAN MUHAMMAD ASAD
MAKALAH PERBANDINGAN
FIQIH SIYASAH
Disusun Oleh:
KELOMPOK IX
HERI GUNAWAN (212015006)
Mahasiswa Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri
Teungku Dirundeng Meulaboh
Jurusan Syariah Dan Ekonomi Islam
Program StudiHukum Tata Negara
Dosen Pembimbing: FEBRI NASRA EKHSAN, S.HI., M.SY
KEMENTERIAN
AGAMA REPUBLIK INDONESIA
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
TEUNGKU DIRUNDENG MEULABOH
ACEH BARAT
2018 M/1439
H
A. Latar
Belakang
Perkembangan Pemikiran
Politik Islam atau Fiqih Siyasah juga dapat dibagi
berdasarkan periodisasi sejarah, banyak tokoh-tokoh Pemikir Politik Islam yang berkembang
dengan perbedaan dan ciri khas pada masing-masing pemikiran dalam
periode-periode tersebut dengan gagasannya.
Maka pada bagian
ini akan dipaparkan perbandingan tiga tokoh Pemikir Politik Islam dalam perspektif
konsep Fiqih Siyasah diantaranya Muhammad
Iqbal, Mustafa Kemal Ataturk dan Muhammad Asad yang secara singkat akan dikaji dalam pembahasan.
Rumusan
Masalah dalam makalah ini adalah: bagaimana konsep pemikiran Muhammad Iqbal,
Mustafa Kemal Ataturk dan Muhammad Asad dalam perspektif Fiqih Siyasah?
B. Biografi
Tokoh Politik Islam
1. Muhammad
Iqbal
Muhammad
Iqbal dilahirkan di Sialkot, Punjab, Pakistan pada 9 November 1877. Nenek
moyangnya berasal dari keluarga Muslim taat yang telah memeluk Agama Islam tiga
abad sebelum kelahirannya. Ayah dan kakeknya adalah orang-orang yang selalu
hidup dalam tradisi Sufistik.[1]
Berdasarkan
hasil bacaan, penulis mensimpulkan bahwa pendidikan awal Muhammad Iqbal yaitu
ditangani oleh Ayahnya sendiri kemudian dimasukkan ke Maktab (Madrasah) kemudian melanjuti pendidikan
di Scottish Mision School di Sialkot
bersama guru yang bernama Mir Hasan. Setelah tamat dari Scottish pada tahun 1895, Iqbal melanjuti pendidikan di Government College di Lahore bersama Sir
Thomas Arnold bidang Pendidikan Bahasa Arab strata satu (1897) dan bidang Filsafat
strata dua (1899), dan melanjuti strata tiga (1907) di Trinity College, Cambridge, Inggris dan belajar pada Filsuf Mc
Taggart dan James Ward. Iqbal juga mengikuti kursus tentang hukum dan melanjutkan
studi ke Jerman mengambil gelar Doktor (Ph.D) dan pada 4 November 1907, Iqbal
berhasil mempertahankan disertasi Doktornya berjudul the Development of Methaphysics in Persia. Iqbal juga pernah
berprofesi sebagai Advokat dan mengajar tentang Filsafat, Satra Arab dan Inggris
di Government College.
Iqbal
juga terlibat aktif dalam kegiatan politik dinegerinya. Ia menerjunkan diri
dalam upaya kemerdekaan umat Islam untuk mengatur hidupnya sendiri terlepas
dari dominasi Hindu India. Iqbal melihat bahwa selama ini tidak ada
keharmonisan hubungan Muslim-Hindu di India. Umat Islam selalu menjadi korban Agitasi
politik orang-orang Hindu. Karena itu, ketika teman-temannya mencalonkannya
menjadi anggota Dewan Legislatif di Punjab, Iqbal tidak keberatan menerimanya.
Selain di Dewan Legislatif, Iqbal juga menjadi salah seorang tokoh teras Liga
Muslim, organisasi politik umat Islam yang menuntut negara sendiri yang
terpisah dari dominasi Hindu. Di partai ini Iqbal mengkristalisasi gagasannya
tentang pemisahan umat Islam dalam suatu negara dari masyarakat Islam. Sebagai Presiden
Konferensi Tahunan Liga Muslim di Allahabad, untuk pertama kalinya Iqbal menyampaikan
pidato dan seruannya untuk pembagian India menjadi dua bangsa. Baginya, umat Islam
hanya dapat tetap hidup dan bertahan di bumi India dengan memiliki pemerintahan
sendiri yang terlepas dari dominasi umat Hindu. Dalam sebuah suratnya kepada Muhammad
Ali Jinnah, Iqbal menyatakan bahwa jalan terbaik yang bisa mengantarkan
perdamaian di India adalah pemisahan negeri tersebut berdasarkan
prinsip-prinsip ras, keagamaan, dan bahasa.[2]
Sejak
tahun 1935, kondisi kesehatan Iqbal menurun drastis. Penyakit kencing manis
yang dideritanya semakin menggrogoti Iqbal. Akhirnya, pada 21 April 1938 Iqbal mengembuskan
napas terakhir. Meskipun tidak sempat menyaksikan wujud impiannya berdirinya
satu negara tersendiri di anak Benua India, cita-cita ini dilanjutkan oleh
temannya Muhammad Ali Jinnah. Pada 15 Agustus 1947, umat Islam pun berhasil
mendapatkan satu negara merdeka yang terlepas dari Hegemoni Hindu dengan nama Pakistan.[3]
2. Mustafa
Kemal Ataturk
Mustafa
dilahirkan pada 1881 di kota Salonika, Yunani sekarang. Orang tuanya berasal
dari keluarga Religius dan menginginkan supaya Mustafa besar dalam suasana Religius
pula. Ayahnya, Ali Riza, adalah pegawai rendahan dikantor pemerintah kota
tersebut. Sementara ibunya, Zubayda, adalah seorang perempuan yang memiliki
rasa keberagamaan yang dalam. Semula ibunya mengirim Mustafa ke Madrasah, tetapi ia tidak merasa betah
dan selalu melawan gurunya. Orang tuannyapun kemudian memindahkannya kesekolah
dasar modern di Salonika. Selanjutnya, karena tertarik pada lapangan militer,
ia masuk sekolah menengah militer atas usahanya sendiri. Dilapangan militer
inilah agaknya jalur hidup Mustafa. Berturut-turut kemudian ia melanjutkan
pendidikan pada sekolah latihan militer di manstir dan sekolah tinggi militer
di Istanbul. Pada tahun 1905, ia menyelesaikan pendidikan militer dengan
pangkat kapten.[4]
Berdasarkan
hasil bacaan, penulis mensimpulkan bahwa karena kecerdasan Mustafa dalam bidang
matematika pada masa pendidikan militernya ia mendapatkan gelar tambahan yaitu
“Kemal” yang berarti yang sempurna, sehingga namanya menjadi Mustafa Kemal. Dan
atas jasanya pula terhadap perubahan Turki Usmani menjadi bangsa Turki Modern ia
memperoleh gelar “Ataturk” yang berarti Bapak Turki, sehingga namanya menjadi Mustafa
Kemal Ataturk. Kemal menolak keabsolutisme Sultan Abdul Hamid dan ingin
membebaskan Turki dari depotisme penguasa anti-pembaharuan serta menyelamatkan Turki
Usmani dari kekalahan oleh penjajahan Bangsa Eropa. Melalui gerakan Kemal yaitu
Perkumpulan Vatan (Tanah Air) ia
memberontak absolutisme Sultan dan sempat di tahan dan diasingkan ke Syria,
namun setelah itu Kemal kembali membentuk perkumpulannya dengan sebutan baru
yaitu Vatan ve Hurriyet Cemiyeti
(Perkumpulan Tanah Air dan Kemerdekaan) yang dibantu oleh temannya bernama Ismed
Isnonu (Ismed Pasha) sebagai perdana menteri.
Kemal
meninggal tanggal 10 November 1938 dengan membawa perubahan siqnifikan bagi
bangsa Turki dan sekaligus meninggalkan kontroversi di dunia Islam. Ia dipuji
oleh bangsa Turki sebagai Bapak Turki yang membebaskan Turki dari belenggu
despotisme penguasa Kerajaan Turki Usmani dan sekutu. Namun sebaliknya, ia
dianggap sebagai orang yang paling bertanggung jawab atas terjadinya
sekularisasi di dunia Islam.[5]
3. Muhammad
Asad
Nama lengkapnya ketika dilahirkan adalah
Leopold Weiss, sedangkan Muhammad Asad adalah namanya setelah ia memeluk Islam.
Ia dilahirkan di lingkungan keluarga Yahudi, Lamberg (Polandia), pada tahun
1900 dan wafat pada usia 80 tahun.[6]
Berdasarkan hasil bacaan, penulis
mensimpulkan bahwa Muhammad Asad kelahiran Austria pada tanggal 12 Juli 1900 dengan
nama Leopold Weiss, belajar kitab-kitab suci Yahudi-Keristen dengan bahasa Ibrani-Aramea,
Polandia dan Jerman. Belajar sejarah, Falsafah dan Psikologi, pernah menjadi Wartawan
United Telegraph di Berlin (1921),Wartawan
Frankfurter Zeitung dan Koresponden di
Timur Tengah (1922-1926). Masuk Islam di Berlin dan memilih nama Muhammad Asad (1926),
tinggal di Hejaz dan Najd, Saudi Arabia (1926-1932). Menjelajah wilayah-wilayah
negeri Islam (1932-1947) kecuali Asia Tenggara, bersahabat dengan tokoh-tokoh Islam,
termasuk Raja Abdul Aziz Ibnu Saud di Arabia dan Muhammad Iqbal di India
sekarang Pakistan. Membatalkan rencana ke Indonesia dan Asia Tenggara karena
ditugaskan membentuk dan mengepalai Departemen Rekonstruksi Islam Pakistan
(1947-1951), mengepalai bagian Timur Tengah Kementerian Luar Negeri Pakistan,
menjadi Duta tetap Pakistan untuk PBB. Muhammad Asad juga menulis beberapa
karyanya yaitu Islam at the Crossroads
(1935), The Road to Mecca (1952) dan The Message of the Quran. Muhammad Asad diangkat
sebagai warga negara kehormatan di berbagai negeri Islam, terakhir tinggal di Maroko,
dan wafat pada tanggal 20 Februari 1992 di Spanyol.
Muhammad Asad adalah Ilmuwan Muslim yang
produktif menurunkan pikirannya dalam bentuk buku dalam berbagai bidang
sepanjang hidupnya, seperti Pendidikan, Ekonomi, dan Kenegaraan. Muatan
kenegaraannya dituangkan dalam beberapa karya yang berurutan secara sistematis.
Karya-karya Asad, antara lain:[7]
a. Islam at the Crossroads:
Buku ini merupakan buku yang penuh dengan pernyataan dan bukti-bukti konkret
tentang nasib umat Islam di tengah-tengah peradaban Barat.
b. The Principles of State
and Government in Islam: Buku ini membahas
tentang kenegaraan, yang komplet dengan konsep-konsep negara Islam.
c. Terjemahan Shahih al-Bukhari:
Buku ini merupakan kumpulan dari beberapa Hadis Nabi SAW yang dikutip Asad dan
dibukukannya pada tahun 1952, yang berkaitan dengan kehidupan sosial politik
umat Islam yang dijadikannya sebagai landasan konstitusi negara Islam Pakistan.
d. Minhaj al-Islam fi al-Hukm:
Buku ini merupakan kumpulan dan pengembangan dari buku The Principles of State and Government in Islam. Boleh dikatakan
buku ini memuat seluruh pemikiran kenegaraan Muhammad Asad.
Berdasarkan hasil bacaan, penulis
meringkas beberapa kutipan kalimat dalam buku Muhammad Asad yang berjudul Islam at the Crossroads yang
diterjemahkan oleh M.Hashem dalam edisi Indonesia berjudul Islam di Simpang
Jalan, beberapa kutipan kalimat tersebut yaitu:
Bagian pertama, Jalan Islam yang terbuka:
“Pengetahuan moral secara otomatis
memaksakan tanggung jawab moral atas manusia, dalam Islam moralitas hidup dan
mati bersama perjuangan manusia untuk menegakkan kejayaan moralitas itu dimuka
bumi”.[8]
Bagian kedua, Semangat Barat: “Untuk melangkah lebih jauh dan meniru jiwa
kebudayaan Barat, mode hidup dan organisasi kemasyarakatannya, tidaklah mungkin
tanpa memberikan pukulan maut terhadap kehidupan Islam sebagai bentuk
pemerintahan Ketuhanan dan agama yang praktis”.[9]
Bagian ketiga, Bayangan Perang Salib: “Kita sedang memimpikan sinar Islam memancar
ke wilayah-wilayah jauh, sementara dalam wilayah sekitar kita sendiri pemuda Islam
sedang meninggalkan medan harapan kita”.[10]
Bagian keempat, Tentang Pendidikan: “Apabila kita hendak mempertahankan realitas
Islam sebagai satu faktor kultural maka kita harus waspada terhadap suasana Intelektuil
peradaban Barat yang kini sedang menaklukkan masyarakat kita dan
kecendrungan-kecendrungan kita”.[11]
Bagian kelima, Tentang Meniru: “Problema yang menantang kaum Muslimin sekarang
iyalah problema Musafir yang tiba di simpang jalan. Ia dapat diam ditempatnya,
tetapi ini berarti mati kelaparan. Ia dapat memilih jalan yang bertanda “Menuju
Peradaban Barat” tetapi kalau demikian maka ia harus meninggalkan masa lalunya
untuk selama-lamanya. Atau ia memilih jalan yang bertanda: “Menuju Realitas
Islam”. Jalan ini saja yang dapat tampil bagi mereka yang percaya akan masa
lalu mereka dan percaya akan kemungkinan peralihan kedalam masa depan yang
hidup”.[12]
Bagian keenam, Hadits dan Sunnah: “Menafsirkan ajaran-ajaran Al-Qur’an sesuka
hati mereka, atas garis “rasionalisme” yang dangkal-yaitu masing-masing sesuai
dengan kecendrungan dan palingan pikirannya”.[13]
Bagian ketujuh, Jiwa Sunnah: “Islam tidak menekankan yang tidak mungkin
pada kita tetapi mengarahkan kita bagaimana mengambil manfaat yang
sebaik-baiknya dari segala kemungkinan-kemungkinan kita dalam mencapai wilayah
realitas yang lebih tinggi dimana tidak ada penyimpangan dan dimana tidak ada
tabrakan antara ide dan perbuatan. Mengikuti segala yang dilakukannya dan yang
diperintahkannya adalah mengikuti Islam, meninggalkannya berarti meninggalkan
realitas Islam”.[14]
Penulis berpendapat bahwa isi kalimat
dari buku Muhammad Asad ini adalah penjelasan bagaimana bangsa Barat menyikapi Islam
dan isu pertentangan bangsa Eropa terhadap umat Islam dalam hal Perang Salib
beberapa ratusan tahun lalu dan penjelasan mengenai pendidikan umat Islam yang
terpengaruh budaya Barat mengenai metode, pola dan gaya yang bertentangan
dengan ajaran agama Islam.
C.
Pemikiran
Tokoh Politik Islam
1. Muhammad
Iqbal
Individu,
ego, pribadi atau khudi adalah bagian terpenting dalam filsafat Iqbal. Filsafat
khudi-nya merupakan dasar yang menopang gagasan-gagasannya tentang politik
kenegaraan dan menjadi landasan bagi seluruh konstruksi pemikirannya. Di sisi
lain, filsafat khudi Iqbal merupakan jawaban atas keprihatinannya terhadap
kolonialisme bangsa-bangsa Barat yang menguasai hampir seluruh dunia Islam.[15]
Untuk
memperoleh tingkat insan kamil, menurut Iqbal, Manusia harus melalui tiga tahap
pendidikan, yaitu ketaatan kepada hukum, pengendalian diri, dan kekhalifahan
Ilahiah.[16]
Iqbal
mengemukakan bahwa manusia itu tak dapat diperbudak baik oleh ras, agama,
batas-batas sungai atau oleh barisan gunung-gunung. Sekelompok besar manusia,
yang memiliki pikiran sehat dengan hati yang penuh semangat, dapat saja
membentuk kesadaran moral yang biasa disebut bangsa.[17]
Penulis
berpendapat bahwa maksud dari pemikiran Iqbal tersebut adalah keadaan umat Islam india yang
terpengaruh oleh kelompok umat Hindu sehingga umat Islam india kurang berperan
dalam mempelajari ajaran Islam dan konstruksi masyarakat Islam, maka Filsafat
Khudi merupakan dasar penompang utama untuk menumbuhkan karakter umat Islam
dalam suatu bangsa agar meraih kemajuan yang disiplin ilmu agama dan kehidupan
dunia untuk mecapai manusia yang sempurna (Insan
Kamil).
Bagi
Iqbal, tidak ada pemisahan antara spiritual dan materiil, agama dan negara.
Keberadaan agama adalah untuk mengembangkan kedua aspek tersebut dan
menyelaraskannya dengan keinginan-keinginan Tuhan. Negara harus mampu
menjabarkan prinsip-prinsip tauhid yang mengacu pada persamaan, kesetiakawanan,
dan kebebasan. Negara merupakan usaha untuk mentransformasikan prinsip-prinsip
tersebut ke dalam kekuatan ruang dan waktu.[18]
Penulis
berpendapat bahwa agama dan negara tidak
dapat dipisahkan karena agama merupakan suri teladan dalam penerapan Syariat
untuk kemaslahatan negara, sebagaimana doktrin Kenabian Muhammad sebagai
negarawan di Madinah yang tidak memisahkan antara agama dan negara.
Bagi
Iqbal, antara politik pemerintahan dan agama tidak terdapat pemisahan. Memang,
pandangan ini bukanlah sesuatu yang baru dalam poltik Islam. Pemikir-pemikir
politik Islam abad klasik dan
pertengahan juga menyatakan perlunya penyatuan antara agama dan negara. Abu
al-Hasan al-Mawardi, umpamanya, menyatakan bahwa khilafah (pemerintahan) dibentuk untuk menggantikan fungsi
kenabian. Gunanya adalah demi memelihara agama dan mengatur kehidupan dunia.[19]
Penulis
berpendapat bahwa sistem politik Islam
adalah sistem politik yang berlandaskan hukum Islam dan keadilan serta untuk
kemaslahatan umat.
Menurut
Iqbal, Islam mengubah asas demokrasi dari penindasan ekonomi ke penyucian
rohani dan pengaturan rohani yang lebih baik.[20]
Penulis
berpendapat bahwa demokrasi Barat merupakan demokrasi yang sekuler sehingga
peran agama dalam penataan moral dan etika tidak terterapkan dalam
pemerintahan, sehingga terjadinya pemyimpangan-penyimpangan dalam perpolitikan.
Bahkan
Iqbal menuduh Eropa (Barat) sebagai penghambat terbesar bagi kemajuan etika dan
moralitas umat manusia. Karena itu, Iqbal mendambakan sebuah sistem demokrasi
yang dijiwai oleh nilai-nilai ke-Tuhanan.[21]
2. Mustafa
Kemal Ataturk
Dalam
pemikiran Kemal, Turki Usmani tidak bisa maju karena terdapat hubungan yang
erat antara Islam dan negara. Penguasa Usmani ketika itu menggunakan dua gelar
sekaligus untuk kekuasaannya, yaitu gelar Khalifah untuk kekuasaan agama dan
gelar Sultan untuk kekuasaan politik (duniawi). Bagi Kemal, ikut campurnya
Islam dalam berbagai lapangan publik, termasuk politik, telah membawa kepada
kemunduran Islam. Kemal membandingkan bahwa Barat berani meninggalkan agama
dari lapangan politik dan melakukan sekularisasi sehingga melahirkan peradaban
yang tinggi. Karena itu, kalau Turki mau maju dan modern, tidak ada jalan lain
kecuali meniru Barat dengan melakukan sekularisasi juga. Masyarakat Turki harus
diubah menjadi Barat.[22]
Sebagai
realisasi dari gagasannya di atas, hal pertama yang dilakukan Kemal adalah
menghapus jabatan sultan sebagai pemegang kekuasaan politik pada tahun 1922,
dan ini disetujui oleh Majelis Nasional Agung. Selanjutnya, pada Oktober 1923,
terjadi perubahan mendasar dalam pemerintahan Turki. Majelis Nasional Agung
memutuskan Turki sebagai negara Republik, meskipun masih mencantumkan Islam
sebagai agama negara. Namun demikian, konsep ini menimbulkan dualisme
kepemimpinan dalam negara Turki, yaitu Presiden sebagai penguasa Eksekutif
Tertinggi dan Khalifah di sini masih dipahami sebagai pengertian lama, yakni
kepala negara juga. Ini yang menimbulkan kerancuan, sehingga akhirnya Kemal
berpendapat bahwa jabatan Khalifah juga harus dihapuskan. Pada Februari 1924
dibicarakanlah di Majelis Nasional Agung tentang masalah ini. Akhirnya, pada 3
Maret 1924 disetujuilah penghapusan Khalifah. Khalifah Abdul Madjid sebagai
penguasa terakhir dinasti Turki Usmani beserta keluarganya diperintahkan untuk
meninggalkan Turki. Ia pun pergi ke Swiss. Inilah akhir riwayat Turki Usmani
yang pernah berjaya sejak tahun 1300 M dan digantikan dengan Republik Turki
Modern oleh Mustafa Kemal.[23]
Penulis
berpendapat bahwa pemikiran Kemal sangat berbeda dengan pemikiran Iqbal yang
menyatukan antara agama dan negara, Kemal menjalankan sistem sekularisasinya
dengan tujuan kemajuan Turki Modern seperti negara Barat, yaitu negara harus
netral dari prinsip agama.
Berdasarkan
hasil arahan, penulis menambahkan tanggapan dosen pembimbing[24]
bahwa Mustafa Kemal Ataturk melakukan kebijakannya pada tahun 1923 terdiri atas
enam pilar, yaitu:
a. Republik:
bahwa negara Turki Modern menetapkan sistem demokrasi parlementer yang dipimpin
oleh seorang Presiden, bukan Sultan ataupun Khalifah.
b. Nasionalisme:
bahwa bukan agama atau mazhab tertentu yang menentukan kewarganegaraan.
c. Prinsip
Kenegaraan: bahwa pemerintah berkuasa penuh mengurus ekonomi dan bukan
intervensi atas kepentingan rakyat.
d. Prinsip
Populisme: bahwa adanya perlindungan HAM dan sama di mata hukum atau Equality Before of Law.
e. Sekularisme:
yaitu pemisahan antara urusan agama terhadap urusan politik kenegaraan.
f. Revolusionisme:
yaitu perubahan secara menyeluruh terhadap bentuk dan sistem kenegaraan.
Mustafa
Kemal menyadari, sistem Kekhilafahan bisa menjadi jebakan bagi orang-orang yang
ingin mengembalikan sistem kepada zaman kejayaan Islam di Turki. Ia menolaknya, Dia
menetapkan bahwa negara harus dijalankan seperti yang berlaku di Eropa, tanpa
harus melihat masa lalu atau tradisi yang pernah berlaku.[25]
Dia
mengatakan bahwa revolusi rakyatnya terhadap pemerintahan mereka pada saat
terjadinya Perang Dunia I, sebagai satu pengkhianatan dan tikaman atas
bangsa-bangsa Arab, dan agar dia dapat membawa bangsanya kepada suasana Eropa.[26]
Penulis
berpendapat bahwa selain Kemal merubah sistem negara menjadi seperti negara
Barat dengan sistem sekularisasi, Kemal juga menetapkan beberapa Undang-undang
pendidikan sekularisasi, penghapusan jilbab dan kerudung, penggunaan tulisan
latin dan pelarangan tulisan Arab, pelarangan poligami dan pengharusan nikah
terhadap masyarakat sipil, persamaan hak antara perempuan dan laki-laki dan
pengharusan mempunyai nama keluarga seperti orang Barat serta merubah Azan dan
khutbah Jumat dalam bahasa Turki dan terjemahan Al-Qur’an dalam bahasa Turki
sebagai prinsip Nasionalisme Keturkian.
Menurut
Harun Nasution, sekularisasi yang dilakukan oleh Kemal tidak sampai
menghilangkan agama dan Kemal tidak berhasil membuat Turki lepas sama sekali
dari ikatan agama, karena rakyatnya masi memegang teguh Islam. Semangat
religiositas masyarakat Turki yang begitu dalam tidak serta-merta dapat
dihapuskan dengan sekularisasi Kemal. Di sisi lain, negara juga membutuhkan
lembaga-lembaga Islam.[27]
3.
Muhammad Asad
Asad mengatakan bahwa kekuasaan Tuhan
tercermin dalam wadah negara Islam
yang pada kenyataannya merupakan antitesis bentuk pemerintahan Teokratis,
Monarkis, dan Kepausan. Bila dibandingkan, demokrasi Barat modern merupakan
filsafat organisasi politik yang di dalamnya ada anggapan bahwa rakyat memiliki
kedaulatan mutlak, sedangkan demokrasi yang dianut kaum Muslimin adalah suatu
sistem yang di dalamnya rakyat hanya menikmati hak dan Kekhalifahan Tuhan yang
memegang kedaulatan. Maka demokrasi dalam pandangan Islam ditentukan oleh hukum-hukum
yang digariskan oleh Tuhan.[28]
Penulis berpendapat bahwa maksud
pemikiran Asad adalah sistem pemerintahan negara Islam yaitu prinsip yang berlandaskan
kepada Al-Qur’an, semua aturan negara berdasarkan Al-Qur’an dan setiap
non-Muslim yang berada di negara Islam
wajib mematuhi peraturan-peraturan negara Islam
tersebut. Pemikiran Muhammad Asad juga beranggapan bahwa demokrasi yang
diperankan oleh Islam
lebih baik dibandingkan demokrasi Barat.
Asad menolak tentang bentuk tunggal
negara Islam. Negara Islam bukan hanya satu,
tetapi sangat banyak dan sangat tergantung kepada komunitas Islam untuk menentukan
bentuk negara Islam
yang dapat mereka sepakati. Penyerahan bentuk negara Islam tersebut kepada
umat (kaum Muslimin) adalah dengan syarat bentuk negara Islam tersebut
benar-benar sejalan dengan hukum Syara’
yang berkenaan dengan sistem kehidupan sosial.[29]
Penulis berpendapat bahwa maksud
pemikiran Muhammad Asad adalah bernegara kaum Muslimim dilarang meniru sistem
Barat, tetapi kaum Muslimin berhak membuat sistem negaranya sendiri yang sesuai
dengan prinsip Islam
dan harus didasari kesepakatan bersama.
Menurut Muhammad Asad pemerintahan masa al-Khulafa’ al-Rasyidun merupakan contoh
dari sistem bernegara dalam Islam.
Menurut Asad, pada akhirnya melahirkan konsep kenegaraan Islam yang pada pokoknya
adalah bahwa bentuk kenegaraan Islam
tidaklah satu model atau bentuk akan tetapi sangat banyak, seperti Monarki,
Teokrasi, dan bahkan ada yang Liberal. Akan tetapi, kedaulatan yang dimiliki
oleh manusia itu harus dibatasi oleh norma-norma yang datangnya dari Tuhan.
Selanjutnya, pemerintahan hanya dibentuk oleh umat Islam dan merekalah yang
menentukan dan mengaturnya. Dengan demikian, tidak ada klaim pribadi, golongan
dan sebagainya, akan tetapi semuanya kesepakatan bersama umat Islam.[30]
D. Kesimpulan
dan Saran
1.
Kesimpulan yang dapat dirangkum dari hasil pembahasan ini adalah:
a.
Dalam kajian Fiqih Siyasah konsep
pemikiran Muhammad Iqbal adalah tidak adanya pemisahan antara agama dan negara,
agama dan politik pemerintahan. Tiang utama negara adalah doktrin tauhid dan
kenabian Muhammad SAW. Politik Islam merupakan
politik yang berlandaskan hukum Syara’
serta memiliki prinsip keadilan bermoral dan beretika. Sistem negara yang ideal
menurut Muhammad Iqbal adalah sistem Khilafah
dengan berlandaskan Demokrasi Islam yaitu demokrasi yang dijiwai oleh
nilai-nilai keIslaman, tauhid sebagai asasnya dan hukum Tuhan sebagai
landasannya. Pemikiran Muhammad Iqbal berkaitan dengan pengaruh gagasan filsuf
Yunani kuno yaitu Aristoteles, Goethe dan Nietzsche Rumi.
b.
Konsep pemikiran Mustafa Kemal Ataturk adalah Sekularisasi yaitu
pemisahan agama dan negara, merubah sistem negara Islam menjadi negara bersistem Barat, yaitu Republik
Kesatuan. Kemal beranggapan bahwa ikut campurnya Islam dalam perpolitikan negara merupakan faktor kemunduran Islam. Merubah bahasa keseluruhan menjadi bahasa
ke-Turkian, membentuk Peraturan Perundang-Undangan Sekularisasi dalam
pemerintahan dan penerjemahan Al-Qur’an kedalam bahasa Turki. Pemikiran Mustafa
Kemal Ataturk berkaitan dengan pengaruh gagasan pemikir politik Prancis yaitu
August Comte, J.J.Roesseou dan Volteire.
c.
Muhammad Asad ialah seorang Ilmuan Muslim, konsep pemikiran Muhammad Asad
adalah bernegara kaum Muslimin dilarang meniru sistem Barat, namun kaum
Muslimin berhak membuat sistem negaranya sendiri yang sesuai dengan prinsip Islam dan harus didasari
kesepakatan bersama. Demokrasi Islam lebih baik dibandingkan demokrasi Barat,
karena menurut pemikiran Asad, Demokrasi Islam berlandaskan hukum Tuhan dan Islam merupakan agama yang paling sempurna dan
lengkap mencakup urusan kehidupan manusia dan kehidupan politik kenegaraan.
2.
Saran dari Penulis dalam penyusunan Makalah ini adalah:
Pemakalah
menyadari masih terdapat banyak kekurangan dan masih jauh dari kata sempurna.
Oleh sebab itu, kritik dan saran yang sifatnya membangun dari para pembaca dan penyimak
dari makalah ini sangat diharapkan.
E.
Daftar
Kepustakaan
Amin, Husyan Ahmad, Seratus Tokoh Dalam Sejarah Islam,
Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006.
Asad, Muhammad. Islam at the Crossroads, Terj. M, Hashem, Islam di Simpang Jalan, Bandung: Perpustakaan Salman ITB, 1983.
A.Mustofa, Filsafat Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2007.
Iqbal, Muhammad, 100 Tokoh Islam Terhebat Dalam Sejarah, Jakarta: Intimedia &
Ladang Pustaka, 2008.
Muhammad Iqbal dan Amin Husen Nasution, Pemikiran Politik Islam Dari Masa Klasik
Hingga Indonesia Kontemporer, Jakarta: Kencana, 2013.
[1] Muhammad Iqbal dan Amin
Husen Nasution, Pemikiran Politik Islam
Dari Masa Klasik Hingga Indonesia Kontemporer, (Jakarta: Kencana, 2013), h.
87.
[2] Muhammad Iqbal dan Amin
Husen Nasution, Pemikiran Politik...,
h. 89.
[3] Muhammad Iqbal dan Amin
Husen Nasution, Pemikiran Politik...,
h. 90.
[4] Muhammad Iqbal dan Amin
Husen Nasution, Pemikiran Politik..., h.
105-106.
[5] Muhammad Iqbal dan Amin
Husen Nasution, Pemikiran Politik..., h.
107.
[6] Muhammad Iqbal dan Amin
Husen Nasution, Pemikiran Politik..., h.
155.
[7] Muhammad Iqbal dan Amin
Husen Nasution, Pemikiran Politik..., h.
156-157.
[8] Muhammad Asad. Islam at the Crossroads, Terj. M,
Hashem, Islam di Simpang Jalan,
(Bandung: Perpustakaan Salman ITB, 1983), h. 30.
[9] Muhammad Asad. Islam at..., h. 56.
[10] Muhammad Asad. Islam at..., h. 74.
[11] Muhammad Asad. Islam at..., h. 89.
[12] Muhammad Asad. Islam at..., h. 99.
[13] Muhammad Asad. Islam at..., h. 115.
[14] Muhammad Asad. Islam at..., h. 132-133.
[15] Muhammad Iqbal dan Amin
Husen Nasution, Pemikiran Politik...,
h. 94.
[16]Muhammad Iqbal dan Amin
Husen Nasution, Pemikiran Politik...,
h. 95.
[17]A.Mustofa, Filsafat Islam, (Bandung: Pustaka Setia,
2007), h. 333.
[18] Muhammad Iqbal dan Amin
Husen Nasution, Pemikiran Politik...,
h. 101.
[19]Muhammad Iqbal dan Amin
Husen Nasution, Pemikiran Politik...,
h. 92-93
[20]Muhammad Iqbal dan Amin
Husen Nasution, Pemikiran Politik....,
h. 102-103.
[21] Muhammad Iqbal dan Amin
Husen Nasution, Pemikiran Politik..., h.
99.
[22] Muhammad Iqbal dan Amin
Husen Nasution, Pemikiran Politik..., h.
108-109.
[23] Muhammad Iqbal dan Amin
Husen Nasution, Pemikiran Politik..., h.
109.
[24] Febri Nasra Ekhsan,
Dosen STAIN Teungku Dirundeng Meulaboh, 2018.
[25]Husyan Ahmad Amin, Seratus Tokoh Dalam Sejarah Islam,(Bandung:
PT Remaja Rosdakarya, 2006), h. 307.
[26]Muhammad Iqbal, 100 Tokoh Islam Terhebat Dalam Sejarah,
(Jakarta: Intimedia & Ladang Pustaka, 2008), h. 193.
[27] Muhammad Iqbal dan Amin
Husen Nasution, Pemikiran Politik..., h.
111.
[28]Muhammad Iqbal dan Amin
Husen Nasution, Pemikiran Politik...,
h. 165.
[29] Muhammad Iqbal dan Amin
Husen Nasution, Pemikiran Politik..., h.
160.
[30] Muhammad Iqbal dan Amin
Husen Nasution, Pemikiran Politik..., h.
168.