Jumat, 31 Agustus 2018

Sejarah Perkembangan Partai Politik Islam di Indonesia

SEJARAH PERKEMBANGAN PARTAI POLITIK ISLAM
DI INDONESIA


MAKALAH FILSAFAT HUKUM DAN POLITIK ISLAM





Disusun Oleh:

KELOMPOK XI

HERI GUNAWAN                (212015006)
 Mahasiswa Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri
Teungku Dirundeng Meulaboh
Jurusan Syariah Dan Ekonomi Islam
Program Studi Hukum Tata Negara


Dosen Pembimbing: FEBRI NASRA EKHSAN, S.HI., M.SY



KEMENTERIAN AGAMA REPUBLIK INDONESIA
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
 TEUNGKU DIRUNDENG MEULABOH
ACEH BARAT
2018 M/1439 H


A.    Latar Belakang
Tidak dapat dimungkiri bahwa umat Islam memegang peranan sangat penting dalam perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945.
Pada masa modern, hingga berakhirnya Era Pemerintahan, Orde Baru dan berganti dengan Era Reformasi, dinamika Politik Islam dapat dibagi menjadi lima periode, yaitu Periode Menjelang Kemerdekaan, Periode Demokrasi Liberal yang berakhir hingga 1959, Periode Demokrasi Terpimpin yang berakhir sejalan dengan kegagalan Pemberontakan G-30-S/PKI Tahun 1965, Periode Orba yang berakhir tahun 1998, dan Periode Era Reformasi.
Maka pada bagian ini akan dipaparkan secara historis periode-periode tersebut secara singkat di dalam pembahasan yang akan di bahas.
Rumusan Masalah  dalam makalah ini adalah: bagaimana sejarah perkembangan partai politik Islam di Indonesia?
B.     Sejarah Perkembangan Partai Politik Islam di Indonesia
1.      Periode Menjelang Kemerdekaan
Pada periode awal abad ke-20 kita menyaksikan berdirinya organisasi-organisasi Islam, baik yang bergerak dibidang politik maupun sosial keagamaan. diantara yang dapat dicatat, antara lain: Sarekat Islam (1912) yang berasal dari Sarekat Dagang Islam (SDI), Muhammadiyah (1912), Persatuan Islam (1920-An), Nahdlatul Ulama (1926), Persatuan Tarbiyah Islamiyah (1930), Persatuan Muslimin Indonesia (1930), dan Partai Islam Indonesia (1938).[1]
Penulis berpendapat bawha tujuan organisasi tersebut dibentuk adalah untuk memenuhi hak-hak umat Islam dalam kesejahteraan dan pendidikan politik serta untuk pembaruan pemikiran agama di dalam Islam seperti Muhammadiyah dan Persatuan Islam.
Pada awal abad ke-20 hingga masa akhir penjajahan Belanda, terdapat juga organisasi lain yang netral agama. Polarisasi antara kalangan nasionalis netral agama dan nasionalis muslim dapat terlihat umpamanya dengan adanya Budi Oetomo disamping Sarekat Islam, Jong Java disamping Jong Islamieten Bond, Taman Siswa disamping Muhammadiyah dan NU, Permufakatan Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI) dan Gabungan Politik Indonesia (GAPI) disamping Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) serta Jawa Hokokai disamping Masyumi.[2]
Penulis berpendapat bahwa organisasi yang netral terhadap agama tidak menghendaki Islam memasuki wilayah publik dan memisahkan kepentingan agama dan negara yaitu nasionalis sekuler yang sesuai dengan pemikiran Soekarno sehingga adanya perdebatan terhadap tokoh nasionalis Islami yaitu Ahmad Hasan dan Muhammad Natsir pada tahun 1930-an tentang hubungan agama dan negara.
Ketika Jepang (1942-1945) masuk dan menjajah Indonesia, hal tersebut dibaca dengan jeli oleh Jepang. Untuk mempertahankan jajahannya terhadap Indonesia, Jepang menggunakan pendekatan agama dengan mencoba menarik simpati umat Islam. Mereka menerapkan kebijakan yang mengakomodasikan kepentingan umat Islam.[3]
Penulis berpendapat bahwa tujuan Jepang memberi keistimewaan kepada golongan Islam adalah karena Jepang membutuhkan dukungan yang lebih didaerah jajahannya karena Jepang dalam kondisi kemunduran dalam berhadapan dengan sekutunya. salah satu kebijakan Jepang yaitu pembentukan kembali Majelis Islami A’la Indonesia (MIAI) berubahan menjadi Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi).
Pada Desember 1944 Jepang membentuk Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI atau Dokuritzu Zyumbi Tyoosakai). Menurut Prawoto, salah seorang tokoh Masyumi, seperti dikutip Maarif, dari 65 orang anggota BPUPKI, hanya 15 orang yang benar-benar mewakili aspirasi golongan Islam. Selebihnya menolak Islam sebagai dasar negara. Akhirnya, lewat panitia sembilan yang terdiri dari Abikusno Tjokrosujoso, A. Kahar Muzakkir, Agus Salim, A. Wachid Hasjim dari golongan nasionalis Islami; Soekarno, Mohammad Hatta, Muhammad Yamin, dan Ahmad Subardjo dari golongan nasionalis netral agama; serta A.A. Maramis dari golongan Keristen, dicapailah kesepakatan piagam Jakarta yang didalam sila pertamanya berbunyi, “Ketuhanan Dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam Bagi Pemeluk-Pemeluknya.” Kesepakatan ini dicapai melalui sidang pada tanggal 22 Juni 1945.[4]
Namun pada tanggal 18 Agustus 1945 tujuh kata tersebut dicoret dari pembukaan UUD 1945, karena menurut informasi yang diterima oleh Bung Hatta dari dua orang yang  “mengaku” sebagai perwira utusan angkatan laut Jepang yang menyatakan apabila tujuh kata tersebut dipertahankan maka Indonesia bagian Timur akan memisahkan diri dari Republik Indonesia. Maka oleh karena itu tujuh kata tersebut dicoret. Setelah pencoretan tujuh kata tersebut Bung Karno pada setiap kesempatan pidato politiknya selalu bernada membesarkan hati umat Islam (seperti memberikan angin surga) bahwa umat Islam dapat memosisikan kembali keinginan mereka untuk melaksanakan Syariat Islam terutama melalui pemilu (1955) anggota-anggota konstituante.[5]
Penulis berpendapat bahwa perubahan tujuh kata menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan suatu sumber dari pemikiran Sekuler , susai dengan penegasan Muhammad Natsir bahwa ketuhanan dalam Pancasila hanyalah rasa adanya tuhan tanpa wahyu serta rasa ketuhanan tersebut bersifat relatif dan para pendukung Pancasila menafsirkan Pancasila tersebut sesuai selera mereka. Para pendukung Komunisme menerima Pancasila hanyalah sebagai kamuflase belaka.

2.      Periode Demokrasi Liberal
Pada 29 September 1955, pemilu pertama di Indonesia dapat dilaksanakan. Pemilu ini diikuti oleh banyak partai dengan aneka ragam latar belakang politik dan ideologi. Ada 39 partai politik yang ikut dalam pemilu ini yang dipandang paling demokratis di Indonesia. Selain itu terdapat pula 46 kelompok organisasi, 59 orang mewakili perorangan, dan 34 kelompok kumpulan. Semuanya memperebutkan 257 kursi dari 15 daerah pemilihan. Dari pemilu ini, setidaknya ada tiga ideologi yang meraih suara terbesar dan akan bersaing di konstituante nantinya. Ketiganya yaitu, Islam, Nasionalis, dan Komunis. Dari perolehan kursi tersebut, kalau disederhanakan, maka ada empat kekuatan partai ketika itu, yaitu PNI, Masyumi, NU, dan PKI. Meskipun partai-partai Islam bersaing dalam memperebutkan pengaruh, di majelis konstituante mereka memiliki suara bulat untuk memperjuangkan Islam sebagai dasar negara. Juru bicara yang terpenting dalam perjuangan menegakkan Islam sebagai dasar negara adalah Muhammad Natsir. Selain Natsir ada pula tokoh-tokoh seperti: Saifuddin Zuhri, Zainal Abidin Ahmad, Osman Raliby, Syukri Ghazali, T.M.Hasbi Ash-Shiddieqy, Hamka, K.H.Masykur, dan Kasman Singodimedjo.[6]
Presiden Soekarno dengan alasan untuk mengatasi kebuntuan sidang-sidang konstituante itu akhirnya mengeluarkan suatu dekret yang kemudian dikenal dengan Dekret Presiden 5 Juli 1959, kembali ke UUD 1945. Hal yang terpenting bagi umat Islam dalam konsiderans Dekret 5 Juli 1959 dinyatakan bahwa Piagam Jakarta menjiwai dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari UUD 1945.[7]
Penulis berpendapat bahwa latar belakang Presiden Soekarno mengeluarkan konsiderans Dekret 5 Juli 1959 adalah  akibat perdebatan Pancasila yang tidak selesai sehingga menimbulkan masalah-masalah lain dalam Konstituante. Salah satu masalah yang timbul adalah munculnya gerakan separatisme mengatas namakan Darul Islam/Tentara Islam yang terjadi dibeberapa wilayah Indonesia yaitu Aceh, Sumatera Barat, Sulawesi dan Kalimantan.


3.      Periode Demokrasi Terpimpin
Era ini dapat dianggap sebagai masa-masa sulit bagi partai Islam. Setelah mengeluarkan Dekret, Soekarno yang sudah terobsesi untuk menjadi penguasa mutlak di Indonesia memaksa pembubaran partai Masyumi pada 17 Agustus 1960. Pemberlakuan Demokrasi Terpimpin. Soekarno juga menuduh bahwa Masyumi berada dibelakang pemberontakan-pemberontakan yang terjadi di daerah, seperti Sumatera Barat, Aceh, Sulawesi dan Kalimantan.  Sebaliknya, tiga partai Islam lainnya, yakni NU, PSII, dan Perti, berusaha menyesuaikan diri dengan Demokrasi ala Soekarno tersebut. Tokoh-tokoh NU yang ikut ambil bagian dalam Demokrasi Terpimpin ini, antara lain: K.H.Idham Chalid, K.H.Acmad Sjaikhu, dan K.H.Saifuddin Zuuhri. Namun yang jelas, apapun yang dipilih oleh partai-partai Islam, menolak atau menerima Demokrasi Terpimpin, kedua-duanya sama-sama hancur. Masyumi lebih dahulu bubar setahun setelah Soekarno mengeluatkan Dekretnya. Sementara NU yang sempat menikmati kekuasaan akhirnya juga ikut terjungkal dari panggung sejarah politik Indonesia modern bersama dengan kegagalan pemberontakan PKI, 1965. Perjuangan politik Islam dibumi Indonesia ini pun mengalami kegagalan kembali.[8]
Penulis berpendapat bahwa tuduhan Presiden Soekarno terhadap Masyumi itu keliru, karena para pemberontak mantan partisi Masyumi sudah keluar dari partai jauh sebelum pemberontakan terjadi di beberapa wilayah. Tujuan pemberontakan tersebut adalah supaya Soekarno menyadari kekeliruannya sehingga balik kejalan yang benar dalam melaksanakan pemerintahannya.

4.      Periode Orde Baru
Pada fase yang berlangsung antara 1966-1981 ini Orba bertindak represif terhadap umat Islam. Beberapa kebijakan orba terlihat tidak sejalan dengan aspirasi umat Islam. Diantaranya penolakan rehabilitas Masyumi, penolakan berdirinya Partai Demokrasi Islam Indonesia (PDII) yang diprakarsai Bung Hatta.[9]
Tindakan lain yang dilakukan oleh Orde Baru adalah pembubaran PKI melalui TAP MPRS No.XXV/1966, Sedangkan Partindo yang telah menjalin hubungan erat denga PKI, dibekukan pada tahun yang sama.[10]
Sebagai “balas budi” kapada umat Islam, berdasarkan Keputusan Presiden nomor 70 , pemerintah Orba mengizinkan berdirinya Partai Muslim Indonesia (Parmusi, 20 Februari 1968) sebagai penyaluran aspirasi politik umat Islam. Selain parmusi, masi ada partai NU, Partai Syariat Islam Indonesia dan Perti (Persatuan Tarbiyah Inslamiyah), di samping Golongan Karya (“partai” pemerintah) dan partai-partai lain yang beraliran Nasionalis maupun Keristen. Pada 1971, pemerintah Orba melaksanakan pemilu pertama kekuasaannya yang diikuti oleh tiga arus kekuatan politik saat itu. Kekuatan Islam diwakili oleh Parmusi, NU, PSII, dan Perti, kekuatan Nasionalis dan Keristen yang diwakili PNI, IPKI, Parkindo, Partai Murba, dan Partai Katolik serta kekuatan nasionalis-pemerintah yang diwakili oleh Golkar. Dalam pemilu pertama ini, Golkar menang mutlak mengantongi 62,11 persen suara. Dalam perkembangan berikutnya, pada tahun 1973 pemerintahan Soeharto akhirnya mengambil kebijakan penyederhanaan partai. Partai-partai berbasis Islam bergabung kedalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP), sedangkan partai yang berbasis Nasionalis dan Keristen bergabung kedalam Partai Demokrasi Indonesia (PDI).[11]
Dengan demikian mulai pemilihan umum 1977 hanya ada tiga Orsospol, yaitu PPP,PDI, dan Golkar.[12]
Penulis berpendapat bahwa setelah gagalnya pemberontakan PKI maka berakhirnya pula kepemimpinan Soekarno yang dikenal sebagai Surat Perintah Sebelas Maret 1966 atau Supersemar antara Soekarno kepada Soeharto. Presiden Soeharto yang didukung sepenuhnya oleh militer sepakat untuk tidak merehabilitas Masyumi karena trauma dengan politik Islam dan Keliru terhadap Pemberontakan yang pernah terjadi.

5.      Periode Reformasi
Hal lain yang dilakukan Habibie adalah kesediaannya untuk mempercepat pemilihan umum dan memberi kesempatan yang luas kepada rakyat untuk membentuk partai. Di kalangan NU terdapat beberapa partai, yakni Partai Kebangkitan Umat (PKU) pimpinan K.H.Yusuf Hasjim, Partai Naahdlatul Ummat (PNU) pimpinan K.H.Sjukron Makmun, partai Solidaritas Uni Nasional Indonesia (SUNI) pimpinan Abu Hasan, dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) pimpinan Matori Abdul Jalil. Partai yang berbasis Masyumi juga demikian ada tiga partai yang memiliki hubungan emosional dan psikologis dengan Masyumi pada 1955, yaitu Partai Politik Islam Indonesia Masyumi (PPII-Masyumi) pimpinan Abdullah Hehamahua, Partai Masyumi Baru (PMB) pimpinan Ridwan Saidi, dan Partai Bulan Bintang (PBB) pimpinan Yusril Ihza Mahendra. Bahkan dalam perkembangannya, akibat konflik kepentingan ditubuh partai, PPP terpecah lagi dengan munculnya PPP Reformasi yang menjadi Partai Bintang Reformasi (PBR) dibawah pimpinan K.H.Zainuddin MZ. Selain partai-partai yang memiliki kaitan historis dengan partai-partai Islam era 1955, ada pula partai-partai Islam lain yang baik secara tegas menyebutkan Islam sebagai asasnya maupun yang mayoritas konstituennya umat Islam. Untuk kelompok yang pertama terdapat Partai Umat Islam (PUI) pimpinan Deliar Noer, Partai Keadilan (PK) pimpinan Nur Mahmud Ismail, dan partai Kebangkitan Muslim Indonesia (KAMI) yang dipimpin oleh Syamsahril. Sementara partai lain yang tidak menjadikan Islam sebagai dasar ideologi namun berbasis massa muslim adalah Partai Amanat Nasional (PAN) yang didirikan oleh M.Amien Rais dan Partai Umat Muslimin Indonesia (PUMI) pimpinan H.Anwar Junus.[13]
Dengan adanya koalisi partai-partai Islam dan beberapa partai baru menjadi kubu tersendiri di DPR, yang dikenal dengan poros tengah, posisi PDIP menjadi kalah kuat. Sebagai akibatnya yang dipilih oleh MPR menjadi Presiden adalah pendiri PKB, partai yang di DPR hanya memperoleh 51 kursi, yaitu KH Abdurrahman Wahid.[14]
Munculnya PKB, adalah sebuah solusi politik yang berhasil menghindarkan NU dari ketercabikan dan perpecahan.[15]
Penulis berpendapat bahwa tumbangnya Rezim Soeharto adalah dari usaha dan gerakan rakyat yang dimotori oleh Mahasiswa sehingga pergantian Presiden oleh Habibie yang merupakan awal kebangkitan kembali partai dan Organisasi Islam  untuk mencapai cita-cita menjadikan Islam sebagai landasan berbangsa dan bernegara.
Hasil pemilu 1999 yang menempatkan PDIP pada posisi teratas meninggalkan seluruh partai berbasis Islam. Bisa dipastikan bahwa pendukung PDIP pada pemilu 1999, mayoritas adalah mereka yang secara formal memeluk Islam.[16]
Salah satu peran penting yang dimainkan oleh Megawati adalah mempersiapkan dan melaksanakan Pemilihan Umum kedua pada masa Reformasi. Hasil final verifikasi faktual KPU telah menetapkan 24 partai politik yang berhak menjadi peserta pemilu 2004. Dari 24 parpol itu, ada lima partai Islam, yakni PPP (Hamzah Haz), PBB (Yusril Ihza Mahendra), PKS (Hidayat  Nur Wahid), PBR (K.H.Zainuddin MZ), dan PPNUI (K.H.Syukron Ma’mun), di samping PAN yang memiliki basis massa organisasi Muhammadiyah dan PKB yang basis konstituen tradisionalisnya dari kalangan NU. Dalam pemilihan anggota legislatif, di tubuh partai Islam terjadi perkembangan menarik ketika Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang sebelumnya bernama Partai Keadilan (PK) memperoleh suara yang signifikan, yakni sekitar 7,3 persen suara nasional dan 48 kursi di DPR. Pada pemilu 1999 saja PK hanya memperoleh enam kursi di DPR.[17]
Penulis berpendapat bahwa pergantian presiden oleh Megawati dari Gusdur adalah akibat dari perilaku Gusdur yang kontroversial dan mementingkan kepribadiannya semata bukan untuk kepentingan pemerintahan dan rakyat sehingga terjadinya krisis ekonomi dan politik sosial, ini merupakan kegagalan dalam politik Islam. Namun kemenangan PKS merupakan awal kebangkitan kembali partai politik Islam, namun pemilihan presiden sesuai dengan amanat UUD 1945 dipilih melalui suara rakyat, maka PKS hanya memiliki kesempatan memperoleh kursi di DPR.

C.    Biografi Partai Politik Islam di Indonesia
1.      Partai Keadilan Sejahtera (PKS)
Kepemimpinan Presiden B.J.Habibie merupakan awal terbentuknya berbagai partai yang diberi kebebasan secara penuh. Euforia politik pun terus berlangsung ditandai dengan berdirinya partai-partai baru. Para mantan aktivis dakwah kampus generasi pertama dan juga para intelektual lulusan Timur Tengah yang selama ini juga aktif dunia dakwah pun mencoba memanfaatkan situasi yang sedang berkembang. Akhirnya melalui sebuah proses panjang, para penggiat dakwah ini pun mendeklarasikan sebuah partai politik yang diberi nama Partai Keadilan (PK), yang dideklarasikan pada hari Ahad 15 Rabi’ul Tsani 1419 Hijriah yang bertepatan dengan 19 Agustus 1998, walaupun sebenarnya PK didirikan pada 20 Juli 1998 dalam sebuah konferensi pers di Aula Masjid Al-Azhar, Kemayoran Baru, Jakarta. Presiden (ketua) pertama partai ini adalah Nurmahmudi Isma’il. Karena terganjal Electoral Treshold tersebut PK mengubah namanya menjadi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), setelah sebelumnya harus memenuhi persyaratan-persyaratan yang telah ditentukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), Pendeklarasian PKS ini dilakukan di lapangan Monas Jakarta pada Ahad 18 Shafar 1424 Hijriah yang bertepatan dengan 20 April 2003. Ideologi Partai Keadilan Sejahtera berasal dari pemikiran Ikhwanul Muslimin yang memandang Islam sebagai agama sekaligus negara yang menolak gagasan sekularisme. Islam dipandang sebagai ajaran yang mengandung keseluruhan aturan hidup yang harus diwujudkan dalam masyarakat dengan melakukan jihad sebagai bentuk perjuangan untuk merubah situasi yang dipandang belum Islami menjadi Islami.[18]

2.      Partai Bulan Bintang (PBB)
Partai Bulan Bintang (PBB) adalah sebuah partai politik Indonesia yang berasaskan Islam berdiri pada tanggal 17 Juli 1998 di Jakarta dan dideklarasikan pada hari Jumat tanggal 26 Juli 1998 di halaman Masjid Al-Azhar Kemayoran Baru Jakarta. Partai Bulan Bintang didirikan dan didukung oleh ormas-ormas Islam tingkat Nasional yaitu Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI), Badan Koordinasi dan Silahturahmi Pondok Pesantren Indonesia (BKSPPI), Forum Ukhuwah Islmaiyah (FUI), dan ormas-ormas Islam lainnya. Pada awal berdirinya PBB diketuai oleh Prof.DR.Yusril Ihza Mahendra,SH,MSc tokoh reformasi yang menjadi arsitek berhentinya Soeharto dari jabatan Presiden RI ketika reformasi bergulir dan juga sebagai tokoh yang mempelopori Amandemen Konstitusi Pasca reformasi ditengah tuntutan Federalisme dari berbagai tokoh reformasi ketika itu dan pernah pula menjadi Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dan Menteri Sekretaris Negara. Visi PBB yaitu Terwujudnya kehidupan masyarakat Indonesia yang Islami, Misi PBB yaitu Membangun masyarakat dan bangsa Indonesia yang maju, mandiri berkepribadian tinggi, cerdas, berkeadilan, demokratis dan turut menciptakan perdamaian dunia berdasarkan nilai-nilai Islam.[19]

3.      Partai Persatuan Pembangunan (PPP)
Partai Persatuan Pembangunan (PPP) lahir dalam suatu masa ketika kebebasan berserikat dan berkumpul terdistorsi secara sistemik oleh kekuasaan Orde Baru. Ketika PPP lahir, jangkar otoritarianisme dan korporatisme negara begitu kuat mencengkram setiap organisasi politik dan organisasi massa. PPP adalah cerminan persatuan melalui penggabungan atau fusi dari empat partai politik Islam peserta pemilu 1971, yaitu Partai Nahdlatul Ulama (NU), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), Partai Islam Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti), dan Partai Muslimin Indonesia (Parmusi). Partai Persatuan Pembangunan (PPP) didirikan tanggal 5 Januari 1973, sebagai hasil fusi politik empat partai Islam. Fusi ini menjadi simbol kekuatan PPP, yaitu partai yang mampu mempersatukan berbagai faksi dan kelompok dalam Islam. Untuk itu wajar jika PPP kini memproklamirkan diri sebagai “Rumah Besar Umat Islam”. Ketua Umum DPP PPP yang pertama adalah H.Mohammad Syafaat Mintaredja, SH yang menjabat sejak tanggal 5 Januari 1973 sampai tahun 1978. PPP merupakan partai Islam yang memiliki perjalanan panjang. Partai yang resminya berideologi “Islam” (Pasal 2 AD PPP).[20]

4.      Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)
Kondisi perpolitikan yang tidak kondusif berakhir ketika rezim otoriter Orde Baru tumbang dan beralih ke era Reformasi, dimana setiap kelompok dan juga individu memiliki kebebasan dalam berpolitik dan kondisi seperti inilah yang telah mendorong NU untuk membentuk partai baru yaitu Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang bisa mewadahi dan menampung aspirasi kelompok Islam Tradisional. Partai baru itu dideklarasikan pada 23 Juli 1998 di rumah Gus Dur di Ciganjur, Jakarta dengan nama Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Ketua Umum pertama PKB adalah Matori Abdul jalil. Meskipun dilahirkan oleh kalangan NU, PKB tidak didesain sebagai partai yang menempatkan agama sebagai ideologi atau lebih khusus lagi sebagai partai Islam. PKB, sebagaimana dituangkan dalam Mabda Syiasi adalah partai terbuka dalam pengertian lintas agama, suku, ras, dan lintas golongan yang dimanifestasikan dalam bentuk visi, misi, program perjuangan, keanggotaan dan kepemimpinan. Ideologi PKB terdiri dari asas, prinsip perjuangan, dan dasar politik (Mabda’ Siyasiy).[21]

5.      Partai Amanat Nasional (PAN)
Sejarah berdirinya Partai Amanat Nasional (PAN) tak terlepas dari sosok Amien Rais, sang lokomotif gerakan reformasi 1998. Pasca keberhasilan menumbangkan Orde Baru, Amien Rais dan 49 rekan-rekannya yang bergabung dalam Majelis Amanat Rakyat (MARA) merasa perlu meneruskan cita-cita reformasi dengan mendirikan partai politik baru. Majelis Amanat Rakyat (MARA) yang merupakan salah satu organ gerakan reformasi pada era pemerintahan Soeharto, bersama dengan PPSK Yogyakarta, tokoh-tokoh Muhammadiyah, dan Kelompok Tebet kemudian membidani lahirnya Partai Amanat Nasional (PAN). Awalnya partai politik yang berasaskan Pancasila ini awalnya sepakat dibentuk dengan nama Partai Amanat Bangsa (PAB) namun akhirnya berubah nama menjadi Partai Amanat Nasional (PAN) pada pertemuan tanggal 5-6 Agustus 1998 di Bogor. Dideklarasikan pada tanggal 23 Agustus 1998 di Istora Senayan Jakarta, pendeklarasian partai ini dihadiri oleh ribuan massa. PAN bertujuan menjunjung tinggi dan menegakkan kedaulatan rakyat, keadilan, kemajuan material dan spiritual. Cita-cita partai juga berakar pada moral agama, kemanusiaan, dan kemajemukan, sedangkan selebihnya PAN menganut prinsip nonsektarian dan nondiskriminatif. Partai ini memiliki azas “Ahlak Politik Berlandaskan Agama yang Membawa Rahmat bagi Sekalian Alam”.[22]

D.    Kesimpulan dan Saran
1.      Kesimpulan yang dapat dirangkum dari hasil pembahasan ini adalah:
a.       Sejarah perkembangan Partai Politik Islam di Indonesia di mulai Pada periode menjelang Kemerdekaan Republik Indonesia, pada abad ke-20 hingga masa akhir penjajahan Belanda terbentuknya partai dan organisasi Islam serta partai netral terhadap agama. Namun pada penjajahan Jepang, larangan mendirikan partai politik Nasionalis namun untuk umat Islam diizinkan mendirikan partai Masyumi sebagai rasa empati Jepang terhadap umat Islam agar Jepang mendapat dukungan dari umat Islam dalam penjajahannya, serta Jepang juga membentuk BPUPKI.
Pada periode Demokrasi Liberal dibentuknya kembali partai Islam, Nasionalis, dan Komunis. Partai Islam diantaranya adalah Masyumi, NU, PSII, Perti, dan PPTI. Namun pada Periode Demokrasi Terpimpin Soekarno membubarkan partai Masyumi karena isu pemberontakan, namun pada akhir pemerintahan Soekarno partai Islam yaitu NU, PSII, Perti, dan PPTI juga ikut dibubarkan beriringan dengan pembubaran partai komunis PKI.
Pada Periode Orde Baru Soeharto melarang merehabilitas partai Masyumi karena trauma dengan Politik Islam dan isu pemberontakan, namun Soeharto mengizinkan pembentukan Partai  Islam yaitu Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), NU, PSII, Perti dan partai lainnya seperti Golkar, PNI, IPKI, Parkindo, Partai Murba, dan Partai Katolik  sebagai penggantinya walaupun sebenarnya hanyalah rekayasa semata karena  dikuasai oleh kalangan Militer sepenuhnya. Dan pata tahun 1973 Presiden Soeharto melakukan kebijakan Penyederhanaan Partai yaitu golongan Islam partai PPP,  golongan Nasionalis partai PDIP, dan golongan Pemerintahan partai Golkar.
Pada periode Reformasi Soeharto digantikan dengan Habibie karena Gerakan Rakyat bersama Mahasiswa, Presiden Habibie memberlakukan kebijakan membentuk partai secara bebas, Partai Islam yang dibentuk adalah kalangan NU Partai PKB, PKU, PNU, dan SUNI. Kalangan Masyumi Partai PPII-Masyumi,PMB,PBB. Adanya partai produk Orde Baru yaitu partai PSII, dan PPP menjadi dua yaitu PPP Reformasi dan PBR. Partai Islam baru yaitu PUI, PK, KAMI, PAN, PUMI. Dan partai Orde Baru lainnya yaitu PDI-P dan Golkar. Pada masa Megawati Partai Keadilan (PK) Berubah menjadi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Dan partai PKS pada pemilu 2004 memperoleh suara yang signifikan yaitu 7,3 persen dan 48 kursi di DPR.
2.      Saran dari Penulis dalam pembahasan Makalah ini adalah:
Setiap Partai Politik memiliki Cita-cita, Visi dan Misi serta Tujuan lainnya baik berlandaskan Keagamaan maupun Nasionalis untuk Bangsa dan Negaranya dalam mencapai Rahmatan Bil Alamin, Namun Prinsip Keadilan dan Kebaikan akan menjadi Sumber Kekuatan bagi tegaknya sebuah Pemerintahan (Good Government). Dan, itulah yang benar, baik dan benar, merupakan tiga nilai fundamental yang selalu didambakan oleh manusia dari zaman ke zaman, Qul Al Haqq Wa Law Kana Murran “Katakanlah Yang Benar Walaupun Pahit Akibatnya”.
Dalam penyusunan makalah ini, pemakalah menyadari masih terdapat banyak kekurangan dan masih jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kritik dan saran yang sifatnya membangun dari para pembaca dan penyimak dari makalah ini sangat diharapkan.

E.     Daftar Kepustakaan
Azhary, Muhammad Tahir,  Beberapa Aspek Hukum Tata Negara, Hukum Pidana, Dan Hukum Islam, Jakarta: Kencana, 2012.
Budiardjo, Miriam, Dasar Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008.
Hikam, Muhammad A.S, Islam, Demokratisasi, Dan Pemberdayaan Civil Society, Jakarta: Erlangga, 2000.
Muhammad Iqbal dan Amin Husen Nasution, Pemikiran Politik Islam Dari Masa Klasik Hingga Indonesia Kontemporer, Jakarta: Kencana, 2013.
Mulkham, Abdul Munir, Moral Politik Santri: Agama Dan Pembelaan Kaum Tertindas, Jakarta: Erlangga, 2003.
.
Awan Cristianto Pim, “Asal Usul Sejarah Partai Bulan Bintang (PBB)”, Blogger (Online),https://www.blogger.com/asal_usul_sejarah_partai_bulan_bintang_(PBB).
Igman Yuda Pratama, “Tinjauan terhadap 3 partai politik Islam di Indonesia; PKS,PKB dan PPP”, Makalah (Online), https://www.academia.edu/ 11477629/Tinjauan_terhadap_3_partai_politik_Islam_di_Indonesia_PKS_PKB_dan_PPP.
Partai Amanat Nasional, “Sejarah PAN”, Website Resmi PAN (Online), https://pan.or.id/Sejarah_PAN.



[1] Muhammad Iqbal dan Amin Husen Nasution, Pemikiran Politik Islam Dari Masa Klasik Hingga Indonesia Kontemporer, (Jakarta: Kencana, 2013), h. 271.
[2] Muhammad Iqbal dan Amin Husen Nasution, Pemikiran Politik..., h.  272.
[3] Muhammad Iqbal dan Amin Husen Nasution, Pemikiran Politik..., h.  273.
[4] Muhammad Iqbal dan Amin Husen Nasution, Pemikiran Politik..., h. 275-276.
[5] Muhammad Tahir Azhary,  Beberapa Aspek Hukum Tata Negara, Hukum Pidana, Dan Hukum Islam, (Jakarta: Kencana, 2012),  h. 487.
[6]Muhammad Iqbal dan Amin Husen Nasution, Pemikiran Politik..., h. 279-281.
[7] Muhammad Tahir Azhary,  Beberapa Aspek..., h. 488.
[8] Muhammad Iqbal dan Amin Husen Nasution, Pemikiran Politik..., h. 285-290.
[9] Muhammad Iqbal dan Amin Husen Nasution, Pemikiran Politik..., h. 297.
[10]Miriam Budiardjo, Dasar Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), h. 442.
[11] Muhammad Iqbal dan Amin Husen Nasution, Pemikiran Politik..., h. 295-296.
[12] Miriam Budiardjo, Dasar Dasar..., h. 446.
[13] Muhammad Iqbal dan Amin Husen Nasution, Pemikiran Politik..., h. 314-317.
[14] Miriam Budiardjo, Dasar Dasar..., h. 450.
[15] Muhammad A.S Hikam,  Islam, Demokratisasi, Dan Pemberdayaan Civil Society, (: Jakarta: Erlangga, 2000), h. 214.
[16] Abdul Munir  Mulkham, Moral Politik Santri: Agama Dan Pembelaan Kaum Tertindas, (Jakarta: Erlangga, 2003), h. 224.
[17] Muhammad Iqbal dan Amin Husen Nasution, Pemikiran Politik..., h. 322.
[18] Igman Yuda Pratama, “Tinjauan terhadap 3 partai politik Islam di Indonesia; PKS,PKB dan PPP”, Makalah (Online),(2014), https://www.academia.edu/11477629/Tinjauan_terhadap_3_ partai_politik_Islam_di_Indonesia_PKS_PKB_dan_PPP, diakses 12 Mei 2018.
[19] Awan Cristianto Pim, “Asal Usul Sejarah Partai Bulan Bintang (PBB)”, Blogger (Online), (2016), https://www.blogger.com/asal_usul_sejarah_partai_bulan_bintang_(PBB). Diakses 12 Mei 2018.
[20] Igman Yuda Pratama, “Tinjauan terhadap..., diakses 12 Mei 2018.
[21] Igman Yuda Pratama, “Tinjauan terhadap..., diakses 12 Mei 2018.
[22] Partai Amanat Nasional, “Sejarah PAN”, Website Resmi PAN (Online), (2017), https://pan.or.id/Sejarah_PAN. Diakses 12 Mei 2018. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar