SEJARAH
PERKEMBANGAN PARTAI POLITIK ISLAM
DI
INDONESIA
MAKALAH
FILSAFAT HUKUM DAN POLITIK ISLAM
Disusun
Oleh:
KELOMPOK XI
HERI GUNAWAN (212015006)
Mahasiswa Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri
Teungku Dirundeng Meulaboh
Jurusan Syariah Dan Ekonomi Islam
Program Studi Hukum Tata
Negara
Dosen Pembimbing: FEBRI NASRA EKHSAN, S.HI., M.SY
KEMENTERIAN
AGAMA REPUBLIK INDONESIA
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
TEUNGKU DIRUNDENG MEULABOH
ACEH BARAT
2018 M/1439
H
A. Latar
Belakang
Tidak dapat
dimungkiri bahwa umat Islam memegang peranan sangat penting dalam perjuangan
kemerdekaan bangsa Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945.
Pada masa
modern, hingga berakhirnya Era Pemerintahan, Orde Baru dan berganti dengan Era
Reformasi, dinamika Politik Islam dapat dibagi menjadi lima periode, yaitu Periode
Menjelang Kemerdekaan, Periode Demokrasi Liberal yang berakhir hingga 1959,
Periode Demokrasi Terpimpin yang berakhir sejalan dengan kegagalan
Pemberontakan G-30-S/PKI Tahun 1965, Periode Orba yang berakhir tahun 1998, dan
Periode Era Reformasi.
Maka pada bagian
ini akan dipaparkan secara historis periode-periode tersebut secara singkat di
dalam pembahasan yang akan di bahas.
Rumusan Masalah dalam makalah ini adalah: bagaimana sejarah perkembangan partai politik
Islam di Indonesia?
B. Sejarah
Perkembangan Partai Politik Islam di Indonesia
1. Periode
Menjelang Kemerdekaan
Pada
periode awal abad ke-20 kita menyaksikan berdirinya organisasi-organisasi Islam,
baik yang bergerak dibidang politik maupun sosial keagamaan. diantara yang
dapat dicatat, antara lain: Sarekat Islam (1912) yang berasal dari Sarekat
Dagang Islam (SDI), Muhammadiyah (1912), Persatuan Islam (1920-An), Nahdlatul
Ulama (1926), Persatuan Tarbiyah Islamiyah (1930), Persatuan Muslimin Indonesia
(1930), dan Partai Islam Indonesia (1938).[1]
Penulis
berpendapat bawha tujuan organisasi tersebut dibentuk adalah untuk memenuhi
hak-hak umat Islam dalam kesejahteraan dan pendidikan politik serta untuk pembaruan
pemikiran agama di dalam Islam seperti Muhammadiyah dan Persatuan Islam.
Pada
awal abad ke-20 hingga masa akhir penjajahan Belanda, terdapat juga organisasi
lain yang netral agama. Polarisasi antara kalangan nasionalis netral agama dan
nasionalis muslim dapat terlihat umpamanya dengan adanya Budi Oetomo disamping Sarekat
Islam, Jong Java disamping Jong Islamieten Bond, Taman Siswa disamping
Muhammadiyah dan NU, Permufakatan Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia
(PPPKI) dan Gabungan Politik Indonesia (GAPI) disamping Majelis Islam A’la Indonesia
(MIAI) serta Jawa Hokokai disamping Masyumi.[2]
Penulis
berpendapat bahwa organisasi yang netral terhadap agama tidak menghendaki Islam
memasuki wilayah publik dan memisahkan kepentingan agama dan negara yaitu
nasionalis sekuler yang sesuai dengan pemikiran Soekarno sehingga adanya
perdebatan terhadap tokoh nasionalis Islami yaitu Ahmad Hasan dan Muhammad
Natsir pada tahun 1930-an tentang hubungan agama dan negara.
Ketika
Jepang (1942-1945) masuk dan menjajah Indonesia, hal tersebut dibaca dengan
jeli oleh Jepang. Untuk mempertahankan jajahannya terhadap Indonesia, Jepang
menggunakan pendekatan agama dengan mencoba menarik simpati umat Islam. Mereka
menerapkan kebijakan yang mengakomodasikan kepentingan umat Islam.[3]
Penulis
berpendapat bahwa tujuan Jepang memberi keistimewaan kepada golongan Islam
adalah karena Jepang membutuhkan dukungan yang lebih didaerah jajahannya karena
Jepang dalam kondisi kemunduran dalam berhadapan dengan sekutunya. salah satu
kebijakan Jepang yaitu pembentukan kembali Majelis Islami A’la Indonesia (MIAI)
berubahan menjadi Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi).
Pada
Desember 1944 Jepang membentuk Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI atau Dokuritzu
Zyumbi Tyoosakai). Menurut Prawoto, salah seorang tokoh Masyumi, seperti
dikutip Maarif, dari 65 orang anggota BPUPKI, hanya 15 orang yang benar-benar mewakili
aspirasi golongan Islam. Selebihnya menolak Islam sebagai dasar negara.
Akhirnya, lewat panitia sembilan yang terdiri dari Abikusno Tjokrosujoso, A. Kahar
Muzakkir, Agus Salim, A. Wachid Hasjim dari golongan nasionalis Islami;
Soekarno, Mohammad Hatta, Muhammad Yamin, dan Ahmad Subardjo dari golongan
nasionalis netral agama; serta A.A. Maramis dari golongan Keristen, dicapailah
kesepakatan piagam Jakarta yang didalam sila pertamanya berbunyi, “Ketuhanan Dengan Kewajiban Menjalankan Syariat
Islam Bagi Pemeluk-Pemeluknya.” Kesepakatan ini dicapai melalui sidang pada
tanggal 22 Juni 1945.[4]
Namun
pada tanggal 18 Agustus 1945 tujuh kata tersebut dicoret dari pembukaan UUD
1945, karena menurut informasi yang diterima oleh Bung Hatta dari dua orang
yang “mengaku” sebagai perwira utusan
angkatan laut Jepang yang menyatakan apabila tujuh kata tersebut dipertahankan
maka Indonesia bagian Timur akan memisahkan diri dari Republik Indonesia. Maka
oleh karena itu tujuh kata tersebut dicoret. Setelah pencoretan tujuh kata
tersebut Bung Karno pada setiap kesempatan pidato politiknya selalu bernada
membesarkan hati umat Islam (seperti memberikan angin surga) bahwa umat Islam
dapat memosisikan kembali keinginan mereka untuk melaksanakan Syariat Islam terutama
melalui pemilu (1955) anggota-anggota konstituante.[5]
Penulis
berpendapat bahwa perubahan tujuh kata menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa
merupakan suatu sumber dari pemikiran Sekuler , susai dengan penegasan Muhammad
Natsir bahwa ketuhanan dalam Pancasila hanyalah rasa adanya tuhan tanpa wahyu
serta rasa ketuhanan tersebut bersifat relatif dan para pendukung Pancasila
menafsirkan Pancasila tersebut sesuai selera mereka. Para pendukung Komunisme
menerima Pancasila hanyalah sebagai kamuflase belaka.
2. Periode
Demokrasi Liberal
Pada
29 September 1955, pemilu pertama di Indonesia dapat dilaksanakan. Pemilu ini
diikuti oleh banyak partai dengan aneka ragam latar belakang politik dan
ideologi. Ada 39 partai politik yang ikut dalam pemilu ini yang dipandang paling
demokratis di Indonesia. Selain itu terdapat pula 46 kelompok organisasi, 59
orang mewakili perorangan, dan 34 kelompok kumpulan. Semuanya memperebutkan 257
kursi dari 15 daerah pemilihan. Dari pemilu ini, setidaknya ada tiga ideologi
yang meraih suara terbesar dan akan bersaing di konstituante nantinya.
Ketiganya yaitu, Islam, Nasionalis, dan Komunis. Dari perolehan kursi tersebut,
kalau disederhanakan, maka ada empat kekuatan partai ketika itu, yaitu PNI,
Masyumi, NU, dan PKI. Meskipun partai-partai Islam bersaing dalam memperebutkan
pengaruh, di majelis konstituante mereka memiliki suara bulat untuk
memperjuangkan Islam sebagai dasar negara. Juru bicara yang terpenting dalam
perjuangan menegakkan Islam sebagai dasar negara adalah Muhammad Natsir. Selain
Natsir ada pula tokoh-tokoh seperti: Saifuddin Zuhri, Zainal Abidin Ahmad,
Osman Raliby, Syukri Ghazali, T.M.Hasbi Ash-Shiddieqy, Hamka, K.H.Masykur, dan Kasman
Singodimedjo.[6]
Presiden
Soekarno dengan alasan untuk mengatasi kebuntuan sidang-sidang konstituante itu
akhirnya mengeluarkan suatu dekret yang kemudian dikenal dengan Dekret Presiden
5 Juli 1959, kembali ke UUD 1945. Hal yang terpenting bagi umat Islam dalam konsiderans
Dekret 5 Juli 1959 dinyatakan bahwa Piagam Jakarta menjiwai dan merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari UUD 1945.[7]
Penulis
berpendapat bahwa latar belakang Presiden Soekarno mengeluarkan konsiderans
Dekret 5 Juli 1959 adalah akibat
perdebatan Pancasila yang tidak selesai sehingga menimbulkan masalah-masalah
lain dalam Konstituante. Salah satu masalah yang timbul adalah munculnya
gerakan separatisme mengatas namakan Darul Islam/Tentara Islam yang terjadi
dibeberapa wilayah Indonesia yaitu Aceh, Sumatera Barat, Sulawesi dan
Kalimantan.
3. Periode
Demokrasi Terpimpin
Era
ini dapat dianggap sebagai masa-masa sulit bagi partai Islam. Setelah
mengeluarkan Dekret, Soekarno yang sudah terobsesi untuk menjadi penguasa
mutlak di Indonesia memaksa pembubaran partai Masyumi pada 17 Agustus 1960.
Pemberlakuan Demokrasi Terpimpin. Soekarno juga menuduh bahwa Masyumi berada
dibelakang pemberontakan-pemberontakan yang terjadi di daerah, seperti Sumatera
Barat, Aceh, Sulawesi dan Kalimantan. Sebaliknya,
tiga partai Islam lainnya, yakni NU, PSII, dan Perti, berusaha menyesuaikan
diri dengan Demokrasi ala Soekarno tersebut. Tokoh-tokoh NU yang ikut ambil
bagian dalam Demokrasi Terpimpin ini, antara lain: K.H.Idham Chalid, K.H.Acmad
Sjaikhu, dan K.H.Saifuddin Zuuhri. Namun yang jelas, apapun yang dipilih oleh
partai-partai Islam, menolak atau menerima Demokrasi Terpimpin, kedua-duanya
sama-sama hancur. Masyumi lebih dahulu bubar setahun setelah Soekarno
mengeluatkan Dekretnya. Sementara NU yang sempat menikmati kekuasaan akhirnya
juga ikut terjungkal dari panggung sejarah politik Indonesia modern bersama
dengan kegagalan pemberontakan PKI, 1965. Perjuangan politik Islam dibumi Indonesia
ini pun mengalami kegagalan kembali.[8]
Penulis
berpendapat bahwa tuduhan Presiden Soekarno terhadap Masyumi itu keliru, karena
para pemberontak mantan partisi Masyumi sudah keluar dari partai jauh sebelum
pemberontakan terjadi di beberapa wilayah. Tujuan pemberontakan tersebut adalah
supaya Soekarno menyadari kekeliruannya sehingga balik kejalan yang benar dalam
melaksanakan pemerintahannya.
4. Periode
Orde Baru
Pada
fase yang berlangsung antara 1966-1981 ini Orba bertindak represif terhadap
umat Islam. Beberapa kebijakan orba terlihat tidak sejalan dengan aspirasi umat
Islam. Diantaranya penolakan rehabilitas Masyumi, penolakan berdirinya Partai
Demokrasi Islam Indonesia (PDII) yang diprakarsai Bung Hatta.[9]
Tindakan
lain yang dilakukan oleh Orde Baru adalah pembubaran PKI melalui TAP MPRS
No.XXV/1966, Sedangkan Partindo yang telah menjalin hubungan erat denga PKI,
dibekukan pada tahun yang sama.[10]
Sebagai
“balas budi” kapada umat Islam, berdasarkan Keputusan Presiden nomor 70 ,
pemerintah Orba mengizinkan berdirinya Partai Muslim Indonesia (Parmusi, 20 Februari
1968) sebagai penyaluran aspirasi politik umat Islam. Selain parmusi, masi ada
partai NU, Partai Syariat Islam Indonesia dan Perti (Persatuan Tarbiyah
Inslamiyah), di samping Golongan Karya (“partai” pemerintah) dan partai-partai
lain yang beraliran Nasionalis maupun Keristen. Pada 1971, pemerintah Orba
melaksanakan pemilu pertama kekuasaannya yang diikuti oleh tiga arus kekuatan
politik saat itu. Kekuatan Islam diwakili oleh Parmusi, NU, PSII, dan Perti,
kekuatan Nasionalis dan Keristen yang diwakili PNI, IPKI, Parkindo, Partai
Murba, dan Partai Katolik serta kekuatan nasionalis-pemerintah yang diwakili
oleh Golkar. Dalam pemilu pertama ini, Golkar menang mutlak mengantongi 62,11
persen suara. Dalam perkembangan berikutnya, pada tahun 1973 pemerintahan
Soeharto akhirnya mengambil kebijakan penyederhanaan partai. Partai-partai
berbasis Islam bergabung kedalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP), sedangkan
partai yang berbasis Nasionalis dan Keristen bergabung kedalam Partai Demokrasi
Indonesia (PDI).[11]
Dengan
demikian mulai pemilihan umum 1977 hanya ada tiga Orsospol, yaitu PPP,PDI, dan
Golkar.[12]
Penulis
berpendapat bahwa setelah gagalnya pemberontakan PKI maka berakhirnya pula
kepemimpinan Soekarno yang dikenal sebagai Surat Perintah Sebelas Maret 1966
atau Supersemar antara Soekarno kepada Soeharto. Presiden Soeharto yang
didukung sepenuhnya oleh militer sepakat untuk tidak merehabilitas Masyumi
karena trauma dengan politik Islam dan Keliru terhadap Pemberontakan yang
pernah terjadi.
5. Periode
Reformasi
Hal
lain yang dilakukan Habibie adalah kesediaannya untuk mempercepat pemilihan
umum dan memberi kesempatan yang luas kepada rakyat untuk membentuk partai. Di
kalangan NU terdapat beberapa partai, yakni Partai Kebangkitan Umat (PKU)
pimpinan K.H.Yusuf Hasjim, Partai Naahdlatul Ummat (PNU) pimpinan K.H.Sjukron
Makmun, partai Solidaritas Uni Nasional Indonesia (SUNI) pimpinan Abu Hasan,
dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) pimpinan Matori Abdul Jalil. Partai yang
berbasis Masyumi juga demikian ada tiga partai yang memiliki hubungan emosional
dan psikologis dengan Masyumi pada 1955, yaitu Partai Politik Islam Indonesia
Masyumi (PPII-Masyumi) pimpinan Abdullah Hehamahua, Partai Masyumi Baru (PMB)
pimpinan Ridwan Saidi, dan Partai Bulan Bintang (PBB) pimpinan Yusril Ihza
Mahendra. Bahkan dalam perkembangannya, akibat konflik kepentingan ditubuh
partai, PPP terpecah lagi dengan munculnya PPP Reformasi yang menjadi Partai
Bintang Reformasi (PBR) dibawah pimpinan K.H.Zainuddin MZ. Selain partai-partai
yang memiliki kaitan historis dengan partai-partai Islam era 1955, ada pula partai-partai
Islam lain yang baik secara tegas menyebutkan Islam sebagai asasnya maupun yang
mayoritas konstituennya umat Islam. Untuk kelompok yang pertama terdapat Partai
Umat Islam (PUI) pimpinan Deliar Noer, Partai Keadilan (PK) pimpinan Nur Mahmud
Ismail, dan partai Kebangkitan Muslim Indonesia (KAMI) yang dipimpin oleh
Syamsahril. Sementara partai lain yang tidak menjadikan Islam sebagai dasar
ideologi namun berbasis massa muslim adalah Partai Amanat Nasional (PAN) yang
didirikan oleh M.Amien Rais dan Partai Umat Muslimin Indonesia (PUMI) pimpinan
H.Anwar Junus.[13]
Dengan
adanya koalisi partai-partai Islam dan beberapa partai baru menjadi kubu
tersendiri di DPR, yang dikenal dengan poros tengah, posisi PDIP menjadi kalah
kuat. Sebagai akibatnya yang dipilih oleh MPR menjadi Presiden adalah pendiri
PKB, partai yang di DPR hanya memperoleh 51 kursi, yaitu KH Abdurrahman Wahid.[14]
Munculnya
PKB, adalah sebuah solusi politik yang berhasil menghindarkan NU dari
ketercabikan dan perpecahan.[15]
Penulis
berpendapat bahwa tumbangnya Rezim Soeharto adalah dari usaha dan gerakan
rakyat yang dimotori oleh Mahasiswa sehingga pergantian Presiden oleh Habibie
yang merupakan awal kebangkitan kembali partai dan Organisasi Islam untuk mencapai cita-cita menjadikan Islam
sebagai landasan berbangsa dan bernegara.
Hasil
pemilu 1999 yang menempatkan PDIP pada posisi teratas meninggalkan seluruh
partai berbasis Islam. Bisa dipastikan bahwa pendukung PDIP pada pemilu 1999,
mayoritas adalah mereka yang secara formal memeluk Islam.[16]
Salah
satu peran penting yang dimainkan oleh Megawati adalah mempersiapkan dan
melaksanakan Pemilihan Umum kedua pada masa Reformasi. Hasil final verifikasi
faktual KPU telah menetapkan 24 partai politik yang berhak menjadi peserta
pemilu 2004. Dari 24 parpol itu, ada lima partai Islam, yakni PPP (Hamzah Haz),
PBB (Yusril Ihza Mahendra), PKS (Hidayat
Nur Wahid), PBR (K.H.Zainuddin MZ), dan PPNUI (K.H.Syukron Ma’mun), di
samping PAN yang memiliki basis massa organisasi Muhammadiyah dan PKB yang
basis konstituen tradisionalisnya dari kalangan NU. Dalam pemilihan anggota
legislatif, di tubuh partai Islam terjadi perkembangan menarik ketika Partai
Keadilan Sejahtera (PKS) yang sebelumnya bernama Partai Keadilan (PK)
memperoleh suara yang signifikan, yakni sekitar 7,3 persen suara nasional dan
48 kursi di DPR. Pada pemilu 1999 saja PK hanya memperoleh enam kursi di DPR.[17]
Penulis
berpendapat bahwa pergantian presiden oleh Megawati dari Gusdur adalah akibat
dari perilaku Gusdur yang kontroversial dan mementingkan kepribadiannya semata
bukan untuk kepentingan pemerintahan dan rakyat sehingga terjadinya krisis
ekonomi dan politik sosial, ini merupakan kegagalan dalam politik Islam. Namun
kemenangan PKS merupakan awal kebangkitan kembali partai politik Islam, namun
pemilihan presiden sesuai dengan amanat UUD 1945 dipilih melalui suara rakyat,
maka PKS hanya memiliki kesempatan memperoleh kursi di DPR.
C.
Biografi
Partai Politik Islam di Indonesia
1.
Partai Keadilan
Sejahtera (PKS)
Kepemimpinan Presiden B.J.Habibie
merupakan awal terbentuknya berbagai partai yang diberi kebebasan secara penuh.
Euforia politik pun terus berlangsung ditandai dengan berdirinya partai-partai
baru. Para mantan aktivis dakwah kampus generasi pertama dan juga para
intelektual lulusan Timur Tengah yang selama ini juga aktif dunia dakwah pun
mencoba memanfaatkan situasi yang sedang berkembang. Akhirnya melalui sebuah
proses panjang, para penggiat dakwah ini pun mendeklarasikan sebuah partai
politik yang diberi nama Partai Keadilan (PK), yang dideklarasikan pada hari
Ahad 15 Rabi’ul Tsani 1419 Hijriah yang bertepatan dengan 19 Agustus 1998,
walaupun sebenarnya PK didirikan pada 20 Juli 1998 dalam sebuah konferensi pers
di Aula Masjid Al-Azhar, Kemayoran Baru, Jakarta. Presiden (ketua) pertama
partai ini adalah Nurmahmudi Isma’il. Karena terganjal Electoral Treshold tersebut PK mengubah namanya menjadi Partai
Keadilan Sejahtera (PKS), setelah sebelumnya harus memenuhi
persyaratan-persyaratan yang telah ditentukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU),
Pendeklarasian PKS ini dilakukan di lapangan Monas Jakarta pada Ahad 18 Shafar
1424 Hijriah yang bertepatan dengan 20 April 2003. Ideologi Partai Keadilan
Sejahtera berasal dari pemikiran Ikhwanul Muslimin yang memandang Islam sebagai
agama sekaligus negara yang menolak gagasan sekularisme. Islam dipandang
sebagai ajaran yang mengandung keseluruhan aturan hidup yang harus diwujudkan
dalam masyarakat dengan melakukan jihad sebagai bentuk perjuangan untuk merubah
situasi yang dipandang belum Islami menjadi Islami.[18]
2.
Partai Bulan Bintang
(PBB)
Partai Bulan Bintang (PBB) adalah sebuah
partai politik Indonesia yang berasaskan Islam berdiri pada tanggal 17 Juli
1998 di Jakarta dan dideklarasikan pada hari Jumat tanggal 26 Juli 1998 di
halaman Masjid Al-Azhar Kemayoran Baru Jakarta. Partai Bulan Bintang didirikan
dan didukung oleh ormas-ormas Islam tingkat Nasional yaitu Dewan Dakwah
Islamiyah Indonesia (DDII), Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI), Badan
Koordinasi dan Silahturahmi Pondok Pesantren Indonesia (BKSPPI), Forum Ukhuwah
Islmaiyah (FUI), dan ormas-ormas Islam lainnya. Pada awal berdirinya PBB
diketuai oleh Prof.DR.Yusril Ihza Mahendra,SH,MSc tokoh reformasi yang menjadi
arsitek berhentinya Soeharto dari jabatan Presiden RI ketika reformasi bergulir
dan juga sebagai tokoh yang mempelopori Amandemen Konstitusi Pasca reformasi
ditengah tuntutan Federalisme dari berbagai tokoh reformasi ketika itu dan
pernah pula menjadi Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dan Menteri Sekretaris
Negara. Visi PBB yaitu Terwujudnya kehidupan masyarakat Indonesia yang Islami,
Misi PBB yaitu Membangun masyarakat dan bangsa Indonesia yang maju, mandiri
berkepribadian tinggi, cerdas, berkeadilan, demokratis dan turut menciptakan
perdamaian dunia berdasarkan nilai-nilai Islam.[19]
3.
Partai Persatuan
Pembangunan (PPP)
Partai Persatuan Pembangunan (PPP) lahir
dalam suatu masa ketika kebebasan berserikat dan berkumpul terdistorsi secara
sistemik oleh kekuasaan Orde Baru. Ketika PPP lahir, jangkar otoritarianisme
dan korporatisme negara begitu kuat mencengkram setiap organisasi politik dan
organisasi massa. PPP adalah cerminan persatuan melalui penggabungan atau fusi
dari empat partai politik Islam peserta pemilu 1971, yaitu Partai Nahdlatul
Ulama (NU), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), Partai Islam Persatuan Tarbiyah
Islamiyah (Perti), dan Partai Muslimin Indonesia (Parmusi). Partai Persatuan
Pembangunan (PPP) didirikan tanggal 5 Januari 1973, sebagai hasil fusi politik
empat partai Islam. Fusi ini menjadi simbol kekuatan PPP, yaitu partai yang
mampu mempersatukan berbagai faksi dan kelompok dalam Islam. Untuk itu wajar
jika PPP kini memproklamirkan diri sebagai “Rumah Besar Umat Islam”. Ketua Umum
DPP PPP yang pertama adalah H.Mohammad Syafaat Mintaredja, SH yang menjabat
sejak tanggal 5 Januari 1973 sampai tahun 1978. PPP merupakan partai Islam yang
memiliki perjalanan panjang. Partai yang resminya berideologi “Islam” (Pasal 2
AD PPP).[20]
4.
Partai Kebangkitan
Bangsa (PKB)
Kondisi perpolitikan yang tidak kondusif
berakhir ketika rezim otoriter Orde Baru tumbang dan beralih ke era Reformasi,
dimana setiap kelompok dan juga individu memiliki kebebasan dalam berpolitik
dan kondisi seperti inilah yang telah mendorong NU untuk membentuk partai baru
yaitu Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang bisa mewadahi dan menampung aspirasi
kelompok Islam Tradisional. Partai baru itu dideklarasikan pada 23 Juli 1998 di
rumah Gus Dur di Ciganjur, Jakarta dengan nama Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
Ketua Umum pertama PKB adalah Matori Abdul jalil. Meskipun dilahirkan oleh
kalangan NU, PKB tidak didesain sebagai partai yang menempatkan agama sebagai
ideologi atau lebih khusus lagi sebagai partai Islam. PKB, sebagaimana
dituangkan dalam Mabda Syiasi adalah partai terbuka dalam pengertian lintas
agama, suku, ras, dan lintas golongan yang dimanifestasikan dalam bentuk visi,
misi, program perjuangan, keanggotaan dan kepemimpinan. Ideologi PKB terdiri
dari asas, prinsip perjuangan, dan dasar politik (Mabda’ Siyasiy).[21]
5.
Partai Amanat Nasional
(PAN)
Sejarah berdirinya Partai Amanat
Nasional (PAN) tak terlepas dari sosok Amien Rais, sang lokomotif gerakan
reformasi 1998. Pasca keberhasilan menumbangkan Orde Baru, Amien Rais dan 49
rekan-rekannya yang bergabung dalam Majelis Amanat Rakyat (MARA) merasa perlu
meneruskan cita-cita reformasi dengan mendirikan partai politik baru. Majelis
Amanat Rakyat (MARA) yang merupakan salah satu organ gerakan reformasi pada era
pemerintahan Soeharto, bersama dengan PPSK Yogyakarta, tokoh-tokoh
Muhammadiyah, dan Kelompok Tebet kemudian membidani lahirnya Partai Amanat
Nasional (PAN). Awalnya partai politik yang berasaskan Pancasila ini awalnya
sepakat dibentuk dengan nama Partai Amanat Bangsa (PAB) namun akhirnya berubah
nama menjadi Partai Amanat Nasional (PAN) pada pertemuan tanggal 5-6 Agustus
1998 di Bogor. Dideklarasikan pada tanggal 23 Agustus 1998 di Istora Senayan
Jakarta, pendeklarasian partai ini dihadiri oleh ribuan massa. PAN bertujuan
menjunjung tinggi dan menegakkan kedaulatan rakyat, keadilan, kemajuan material
dan spiritual. Cita-cita partai juga berakar pada moral agama, kemanusiaan, dan
kemajemukan, sedangkan selebihnya PAN menganut prinsip nonsektarian dan
nondiskriminatif. Partai ini memiliki azas “Ahlak Politik Berlandaskan Agama
yang Membawa Rahmat bagi Sekalian Alam”.[22]
D. Kesimpulan
dan Saran
1.
Kesimpulan yang dapat dirangkum dari hasil pembahasan ini adalah:
a.
Sejarah perkembangan Partai Politik Islam di Indonesia di mulai Pada periode
menjelang Kemerdekaan Republik Indonesia, pada abad ke-20 hingga masa akhir
penjajahan Belanda terbentuknya partai dan organisasi Islam serta partai netral
terhadap agama. Namun pada penjajahan Jepang, larangan mendirikan partai
politik Nasionalis namun untuk umat Islam diizinkan mendirikan partai Masyumi
sebagai rasa empati Jepang terhadap umat Islam agar Jepang mendapat dukungan
dari umat Islam dalam penjajahannya, serta Jepang juga membentuk BPUPKI.
Pada periode Demokrasi Liberal dibentuknya kembali
partai Islam, Nasionalis, dan Komunis. Partai Islam diantaranya adalah Masyumi,
NU, PSII, Perti, dan PPTI. Namun pada Periode Demokrasi Terpimpin Soekarno
membubarkan partai Masyumi karena isu pemberontakan, namun pada akhir
pemerintahan Soekarno partai Islam yaitu NU, PSII, Perti, dan PPTI juga ikut
dibubarkan beriringan dengan pembubaran partai komunis PKI.
Pada Periode Orde Baru Soeharto melarang
merehabilitas partai Masyumi karena trauma dengan Politik Islam dan isu
pemberontakan, namun Soeharto mengizinkan pembentukan Partai Islam yaitu Partai Muslimin Indonesia (Parmusi),
NU, PSII, Perti dan partai lainnya seperti Golkar, PNI, IPKI, Parkindo, Partai
Murba, dan Partai Katolik sebagai
penggantinya walaupun sebenarnya hanyalah rekayasa semata karena dikuasai oleh kalangan Militer sepenuhnya.
Dan pata tahun 1973 Presiden Soeharto melakukan kebijakan Penyederhanaan Partai
yaitu golongan Islam partai PPP, golongan Nasionalis partai PDIP, dan golongan Pemerintahan
partai Golkar.
Pada periode Reformasi Soeharto digantikan dengan Habibie
karena Gerakan Rakyat bersama Mahasiswa, Presiden Habibie memberlakukan
kebijakan membentuk partai secara bebas, Partai Islam yang dibentuk adalah
kalangan NU Partai PKB, PKU, PNU, dan SUNI. Kalangan Masyumi Partai PPII-Masyumi,PMB,PBB.
Adanya partai produk Orde Baru yaitu partai PSII, dan PPP menjadi dua yaitu PPP
Reformasi dan PBR. Partai Islam baru yaitu PUI, PK, KAMI, PAN, PUMI. Dan partai
Orde Baru lainnya yaitu PDI-P dan Golkar. Pada masa Megawati Partai Keadilan
(PK) Berubah menjadi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Dan partai PKS pada pemilu
2004 memperoleh suara yang signifikan yaitu 7,3 persen dan 48 kursi di DPR.
2.
Saran dari Penulis dalam pembahasan Makalah ini adalah:
Setiap Partai Politik memiliki Cita-cita, Visi dan
Misi serta Tujuan lainnya baik berlandaskan Keagamaan maupun Nasionalis untuk Bangsa
dan Negaranya dalam mencapai Rahmatan Bil
Alamin, Namun Prinsip Keadilan dan Kebaikan akan menjadi Sumber Kekuatan bagi
tegaknya sebuah Pemerintahan (Good Government). Dan, itulah yang benar, baik dan benar, merupakan tiga
nilai fundamental yang selalu didambakan oleh manusia dari zaman ke zaman, Qul Al Haqq Wa Law Kana Murran
“Katakanlah Yang Benar Walaupun Pahit Akibatnya”.
Dalam penyusunan makalah ini,
pemakalah menyadari masih terdapat banyak kekurangan dan masih jauh dari kata
sempurna. Oleh sebab itu, kritik dan saran yang sifatnya membangun dari para
pembaca dan penyimak dari makalah ini sangat diharapkan.
E.
Daftar
Kepustakaan
Azhary, Muhammad Tahir, Beberapa
Aspek Hukum Tata Negara, Hukum Pidana, Dan Hukum Islam, Jakarta: Kencana,
2012.
Budiardjo, Miriam, Dasar Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008.
Hikam, Muhammad A.S, Islam, Demokratisasi, Dan Pemberdayaan Civil
Society, Jakarta: Erlangga, 2000.
Muhammad Iqbal dan Amin Husen Nasution, Pemikiran Politik Islam Dari Masa Klasik
Hingga Indonesia Kontemporer, Jakarta: Kencana, 2013.
Mulkham, Abdul Munir, Moral Politik Santri: Agama Dan Pembelaan
Kaum Tertindas, Jakarta: Erlangga, 2003.
.
Awan Cristianto Pim, “Asal Usul Sejarah
Partai Bulan Bintang (PBB)”, Blogger (Online),https://www.blogger.com/asal_usul_sejarah_partai_bulan_bintang_(PBB).
Igman Yuda Pratama, “Tinjauan terhadap 3
partai politik Islam di Indonesia; PKS,PKB dan PPP”, Makalah (Online), https://www.academia.edu/
11477629/Tinjauan_terhadap_3_partai_politik_Islam_di_Indonesia_PKS_PKB_dan_PPP.
[1] Muhammad Iqbal
dan Amin Husen Nasution, Pemikiran
Politik Islam Dari Masa Klasik Hingga Indonesia Kontemporer, (Jakarta: Kencana,
2013), h. 271.
[5] Muhammad Tahir Azhary, Beberapa
Aspek Hukum Tata Negara, Hukum Pidana, Dan Hukum Islam, (Jakarta: Kencana, 2012), h. 487.
[6]Muhammad
Iqbal dan Amin Husen Nasution, Pemikiran
Politik..., h. 279-281.
[7] Muhammad Tahir
Azhary, Beberapa Aspek..., h.
488.
[10]Miriam Budiardjo,
Dasar Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2008), h. 442.
[12] Miriam
Budiardjo, Dasar Dasar..., h. 446.
[15] Muhammad A.S
Hikam, Islam, Demokratisasi, Dan Pemberdayaan Civil Society, (: Jakarta: Erlangga,
2000), h. 214.
[16] Abdul Munir Mulkham, Moral
Politik Santri: Agama Dan Pembelaan Kaum Tertindas, (Jakarta: Erlangga,
2003), h. 224.
[17] Muhammad
Iqbal dan Amin Husen Nasution, Pemikiran
Politik..., h. 322.
[18] Igman Yuda Pratama,
“Tinjauan terhadap 3 partai politik Islam di Indonesia; PKS,PKB dan PPP”,
Makalah (Online),(2014), https://www.academia.edu/11477629/Tinjauan_terhadap_3_
partai_politik_Islam_di_Indonesia_PKS_PKB_dan_PPP, diakses 12 Mei 2018.
[19] Awan Cristianto
Pim, “Asal Usul Sejarah Partai Bulan Bintang (PBB)”, Blogger (Online), (2016), https://www.blogger.com/asal_usul_sejarah_partai_bulan_bintang_(PBB).
Diakses 12 Mei 2018.
[20] Igman Yuda Pratama,
“Tinjauan terhadap..., diakses 12 Mei 2018.
[21] Igman Yuda Pratama,
“Tinjauan terhadap..., diakses 12 Mei 2018.
[22] Partai Amanat
Nasional, “Sejarah PAN”, Website Resmi PAN (Online), (2017), https://pan.or.id/Sejarah_PAN.
Diakses 12 Mei 2018.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar