Jumat, 31 Agustus 2018

Hak untuk Hidup Perspektif Hukum Tata Negara dan Hukum Internasional

HAK UNTUK HIDUP PERSPEKTIF
HUKUM TATA NEGARA DAN HUKUM INTERNASIONAL


MAKALAH HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA





Disusun Oleh:

KELOMPOK IX

HERI GUNAWAN   (212015006)
MERI MIRANDA    (212015015)

Mahasiswa Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri
Teungku Dirundeng Meulaboh
Jurusan Syariah Dan Ekonomi Islam
Program Studi Hukum Tata Negara


Dosen Pembimbing: JALALUDDIN, SH., MH


KEMENTERIAN AGAMA REPUBLIK INDONESIA
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
 TEUNGKU DIRUNDENG MEULABOH
ACEH BARAT
2018 M/1439 H


KATA PENGANTAR


Assalamu’alaikum..wr..wb.., Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah Swt yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan Makalah ini tepat pada waktunya yang berjudul “Hak untuk Hidup perspektif Hukum Tata Negara dan Hukum Internasional”. Selesainya penyusunan ini berkat bantuan dari berbagai pihak oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis sampaikan terima kasih kepada yang terhormat :
1.      Dosen pengampu mata kuliah Hukum dan Hak Asasi Manusia yang telah memberikan tugas, petunjuk,  kepada kami sehingga kami termotivasi dan menyelesaikan tugas ini.
2.      Secara khusus penulis menyampaikan terima kasih kepada keluarga tercinta yang telah memberikan dorongan dan bantuan serta pengertian yang besar kepada penulis, baik selama mengikuti perkuliahan maupun dalam menyelesaikan makalah ini.
Menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini. Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir.



Meulaboh, 1 Mei 2018


Penyusun


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................. i
DAFTAR ISI............................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN......................................................................................... 1
A.    Latar Belakang................................................................................................ 1
B.     Rumusan Masalah........................................................................................... 1
C.     Tujuan Masalah............................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN.......................................................................................... 2
A.    Hak Asasi Manusia.......................................................................................... 2
B.     Hak Sipil dan Politik....................................................................................... 2
C.     Hak Hidup....................................................................................................... 3
BAB III PENUTUP.................................................................................................. 6
A.    Kesimpulan...................................................................................................... 6
B.     Saran................................................................................................................ 6
DAFTAR KEPUSTAKAAN................................................................................... 7



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Hak Asasi Manusia lahir dari refleksi tentang hidup manusia yang dirumuskan dalam konsep digniti, equality, dan liberty. Kerangka konseptual HAM merujuk pada penghargaan martabat manusia sebagai manusia yang telah diciptakan oleh Tuhan, sehingga martabat ini harus dilindungi oleh individu, kelompok, dan negara. Oleh karena itu, HAM disusun untuk melindungi, menghormati dan meninggikan harkat dan martabat manusia.
Diantara sekian banyak klausul dan muatan HAM dalam UUD RI 1945 terbilanglah Pasal yang secara spesifik mengatur mengenai HAM yaitu Pasal 28I ayat (1) yang menyatakan bahwa hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut berdasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apakah yang dimaksud dengan hak hidup?
2.      Apakah hak hidup dapat dikurangi dalam keadaan tertentu?

C.    Tujuan Masalah
1.      Mengetahui yang dimaksud dengan hak hidup.
2.      Mengetahui pertimbangan hak hidup dapat dikurangi dalam keadaan tertentu.
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Hak Asasi Manusia
Hak asasi diartikan sebagai hak dasar atau hak pokok, seperti hak hidup dan hak mendapatkan perlindungan. Hak asasi manusia sering juga disebut sebagai hak kodrat, hak dasar manusia dan hak mutlak (natural rights, human rights, fundamental rights dalam bahasa Inggris, dan grondrechten, mensen rechten dan rechten van de mens dalam bahasa Belanda). Sedangkan di dalam Pasal 1 angka 1 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Kuasa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.[1]
B.     Hak Sipil dan Politik
Hak sipil dan politik telah diatur dalam Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik yang ditetapkan oleh Resolusi Majelis Umum 2200 A (XXI) tanggal 16 Desember 1966, yang kemudian diratifikasi oleh negara Indonesia ke dalam Undang-Undang RI Nomor 12 Tahun 2005 tentang pengesahan International Covenant on Civil and Politics Rights (Hak-Hak Sipil dan Politik). Ada beberapa bagian penting yang diatur dalam Hak Sipil dan Politik yaitu hak penentuan nasib sendiri, hak untuk hidup, hak untuk tidak diperbudak dan kerja paksa, hak atas kebebasan dan keamanan pribadi, hak atas kebebasan untuk bergerak dan kebebasan untuk memilih tempat tinggalnya dalam wilayah, mempunyai kedudukan yang sama dihadapan pengadilan dan badan peradilan, hak atas kebebasan berpikir, keyakinan dan beragama, hak untuk berpendapat tanpa campur tangan, hak untuk berkumpul secara damai, hak atas kebebasan untuk berserikat, hak ikut serta dalam pelaksanaan urusan pemerintahan, dan hak memilih dan dipilih pada pemilihan umum.[2]
C.    Hak Hidup
Hak hidup merupakan hak dasar yang dimiliki oleh setiap manusia. Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik telah mengatur hak hidup dalam Pasal 6 ayat (1), yaitu setiap manusia berhak atas hak untuk hidup yang melekat pada dirinya. Hak ini wajib dilindungi oleh hukum. Tidak seorangpun dapat dirampas hak hidupnya secara sewenang-wenang. Dalam kaitan ini, Kovenan ini mengatur penghapusan mati dalam pasal 6 ayat (2-5).[3] Pasal 6 ayat (2), menyatakan:
Di negara-negara yang belum menghapuskan hukuman mati, putusan hukuman mati hanya dapat dijatuhkan terhadap beberapa kejahatan yang paling serius sesuia dengan hukum yang berlaku pada saat dilakukannya kejahatan tersebut, dan tidak bertentangan dengan ketentuan Kovenan dan Konvensi tentang Pencegahan dan Hukum Kejahatan Genosida. Hukuman ini hanya dapat dilaksanakan atas dasar keputusan akhir yang dijatuhkan oleh suatu pengadilan yang berwenang.
Pasal 6 ayat (3), menyatakan:
Apabila suatu perampasan kehidupan merupakan kejahatan Genosida, harus dipahami, bahwa tidak satupun dalam Pasal ini yang memberikan kewenangan pada Negara yang menjadi Pihak dalam Kovenan ini, untuk mengurangi kewajiban apapun yang telah dibebankan oleh ketentuan dalam Konvensi tentang Pencegahan dan Hukuman bagi Kejahatan Genosida.
Pasal 6 ayat (4), menyatakan:
Setiap orang yang telah dijatuhi hukum mati berhak untuk memohon pengampunan atau penggantian hukuman. Amnesti, pengampunan atau penggantian hukuman mati dapat diberikan dalam semua kasus.
Pasal 6 ayat (5), menyatakan:
Hukuman mati tidak boleh dijatuhkan atas kejahatan yang dilakukan oleh seseorang dibawah usia delapan belas tahun dan tidak boleh dilaksanakan terhadap perempuan yang tengah mengandung.
Dasar hukum yang menjamin hak untuk hidup di Indonesia juga terdapat dalam Pasal 28A UUD RI 1945 yang berbunyi:
“Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.”
Pasal 9 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM yang berbunyi:
(1) Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya
(2) Setiap orang berhak hidup tenteram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin
(3) Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Dalam Penjelasan Pasal 9 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dikatakan bahwa setiap orang berhak atas kehidupan, mempertahankan kehidupan, dan meningkatkan taraf kehidupannya. Hak atas kehidupan ini bahkan juga melekat pada Bayi yang belum lahir atau orang yang terpidana mati. Dalam hal atau keadaan yang sangat luar biasa yaitu demi kepentingan hidup Ibunya dalam kasus Aborsi atau berdasarkan putusan pengadilan dalam kasus pidana mati. Maka tindakan Aborsi atau pidana mati dalam hal dan atau kondisi tersebut, masih dapat diizinkan. Hanya pada dua hal tersebut itulah hak untuk hidup dapat dibatasi. Dari penjelasan Pasal 9 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM di atas dapat diketahui bahwa dalam kondisi tertentu seperti pidana mati, hak untuk hidup dapat dibatasi.
Menurut Al-Qur’an, nyawa manusia itu suci. Dinyatakan bahwa: “Kamu jangan membunuh jiwa yang telah dimuliakan Tuhan, kecuali dengan sesuatu sebab yang adil” (Qur’an Surat 17:33). Demikian pula disebut: “Barangsiapa membunuh seseorang selain karena membunuh orang lain atau karena membuat kekacauan diatas bumi ia seolah-olah telah membunuh seluruh umat manusia; barangsiapa memberikan kehidupan kepada suatu jiwa, ia seakan-akan telah menghidupkan seluruh manusia” (Qur’an Surat 5:32).[4]
Al-Mawardi dalam al-Ahkam al-Shulthaniyyah wa al-Wilayah al-Diniyyah memberikan rambu-rambu yang tegas dan selektif dalam menjatuhkan pidana mati. Kejahatan pembunuhan dapat dijatuhi pidana mati jika pelakunya adalah orang yang dewasa, sehat akalnya, kemauan sendiri dan dalam keadaan sadar dan pembuktian harus dilakukan secara jujur dan adil.[5]
Bentuk-bentuk keringanan dalam kesulitan terdiri atas enam macam,[6] yaitu:
1.      Tahfih al-isqath, (meringankan dengan menggugurkan);
2.      Tahfih al-ibdal, (meringankan dengan mengganti);
3.      Tahfih al-tanqish, (meringankan dengan mengurangi);
4.      Tahfih al-taqdim, (meringankan dengan mendahulukan waktu);
5.      Tahfih al-ta’khir, (meringankan dengan mengakhirkan waktu); dan
6.      Tahfih al- tarkhsih, (meringankan dengan kemurahan).
Pada titik ini, negara-negara yang menyikapi pidana mati berbeda-beda. Ada negara yang menghapuskan pidana mati (abolisionist) dan ada negara yang masih menerapkan hukuman mati (retentionist). Indonesia sebagai negara yang tidak menghapuskan hukuman mati, sesungguhnya tidak bertentangan dengan Kovenan ini karena putusan hukuman mati dapat dijatuhkan terhadap beberapa kejahatan yang paling serius sesuai dengan hukum yang berlaku pada saat dilakukannya kejahatan dan tidak bertentangan dengan ketentuan Kovenan tentang Pencegahan dan Hukum Kejahatan Genosida. Hukuman mati di Indonesia pun dapat dilaksanakan atas dasar keputusan akhir yang dijatuhkan oleh suatu pengadilan yang berwenang.[7]
BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Adapun beberapa poin penting hasil kajian ini yaitu:
1.      Hak hidup merupakan hak dasar yang dimiliki oleh setiap manusia, hak hidup sebagai karunia tuhan yang hanya bisa dibatasi oleh putusan hukum atau syariah. Hak untuk hidup dijamin oleh negara dalam Pasal 28A UUD RI 1945 dan Pasal 9 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, serta tidak melupakan kewajiban taat terhadap hukum dan menghormati hak asasi manusia lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, sesuai dengan bunyi Pasal 28J UUD RI 1945.
2.      Dalam keadaan genting, pengurangan HAM dibenarkan dalam menimbangi suatu aspek tertentu, Dari penjelasan Pasal 9 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dapat diketahui bahwa dalam kondisi tertentu seperti kasus Aborsi demi kepentingan hidup Ibunya dan pidana mati dengan memberi pengakuan hak orang lain demi ketertiban umum, hak untuk hidup tersebut dapat dibatasi. Pengurangan hak untuk hidup hanya dapat lakukan melalui putusan oleh pengadilan dan hukuman melalui putusan pengadilan bukan suatu pelanggaran HAM. Dalam Pasal 6 ayat (2) ICCPR membolehkan masih diberlakukannya hukuman mati kepada negara peserta, khusus untuk kejahatan yang paling serius.

B.     Saran
Saran terpenting menurut penulis yang perlu diketahui adalah orang yang dijatuhi hukuman mati (terpidana mati) oleh pengadilan masih memiliki upaya hukum lain seperti Amnesti, pengampunan atau penggantian hukuman mati sehingga masih ada peluang tidak dihukum mati.


DAFTAR KEPUSTAKAAN
Budiardjo, Miriam, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008.
Saebani, Beni Ahmad, Fiqh Siyasah: Pengantar Ilmu Politik Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2007.
Sukardja, Ahmad, Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara: Dalam Perspektif Fikih Siyasah, Jakarta: Sinar Grafika, 2014.
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 (UUD RI 1945).
Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU No. 39/1999/HAM).



[1] Ahmad Sukardja, Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara: Dalam Perspektif Fikih Siyasah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2014), h 189.
[2] Ahmad Sukardja, Hukum Tata..., h 201.
[3] Ahmad Sukardja, Hukum Tata..., h 206.
[4] Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008), h 240.
[5] Ahmad Sukardja, Hukum Tata..., h 207.
[6] Beni Ahmad Saebani, Fiqh Siyasah: Pengantar Ilmu Politik Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2007), h 100.
[7] Ahmad Sukardja, Hukum Tata..., h 208.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar