Jumat, 31 Agustus 2018

Konsep Fiqih Siyasah Perspektif Muhammad Iqbal, Mustafa Kemal Ataturk dan Muhammad Asad

KONSEP FIQIH SIYASAH PERSPEKTIF
MUHAMMAD IQBAL, MUSTAFA KEMAL ATATURK DAN MUHAMMAD ASAD


MAKALAH PERBANDINGAN FIQIH SIYASAH





Disusun Oleh:

KELOMPOK IX

HERI GUNAWAN                (212015006)

Mahasiswa Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri
Teungku Dirundeng Meulaboh
Jurusan Syariah Dan Ekonomi Islam
Program StudiHukum Tata Negara


Dosen Pembimbing: FEBRI NASRA EKHSAN, S.HI., M.SY


KEMENTERIAN AGAMA REPUBLIK INDONESIA
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
 TEUNGKU DIRUNDENG MEULABOH
ACEH BARAT
2018 M/1439 H


A.    Latar Belakang
Perkembangan Pemikiran Politik Islam atau Fiqih Siyasah juga dapat dibagi berdasarkan periodisasi sejarah, banyak tokoh-tokoh Pemikir Politik Islam yang berkembang dengan perbedaan dan ciri khas pada masing-masing pemikiran dalam periode-periode tersebut dengan gagasannya.
Maka pada bagian ini akan dipaparkan perbandingan tiga tokoh Pemikir Politik Islam dalam perspektif konsep Fiqih Siyasah diantaranya Muhammad Iqbal, Mustafa Kemal Ataturk dan Muhammad Asad yang secara singkat  akan dikaji dalam pembahasan.
Rumusan Masalah  dalam makalah ini adalah: bagaimana konsep pemikiran Muhammad Iqbal, Mustafa Kemal Ataturk dan Muhammad Asad dalam perspektif Fiqih Siyasah?
B.     Biografi Tokoh Politik Islam
1.      Muhammad Iqbal
Muhammad Iqbal dilahirkan di Sialkot, Punjab, Pakistan pada 9 November 1877. Nenek moyangnya berasal dari keluarga Muslim taat yang telah memeluk Agama Islam tiga abad sebelum kelahirannya. Ayah dan kakeknya adalah orang-orang yang selalu hidup dalam tradisi Sufistik.[1]
Berdasarkan hasil bacaan, penulis mensimpulkan bahwa pendidikan awal Muhammad Iqbal yaitu ditangani oleh Ayahnya sendiri kemudian dimasukkan ke Maktab (Madrasah) kemudian melanjuti pendidikan di Scottish Mision School di Sialkot bersama guru yang bernama Mir Hasan. Setelah tamat dari Scottish pada tahun 1895, Iqbal melanjuti pendidikan di Government College di Lahore bersama Sir Thomas Arnold bidang Pendidikan Bahasa Arab strata satu (1897) dan bidang Filsafat strata dua (1899), dan melanjuti strata tiga (1907) di Trinity College, Cambridge, Inggris dan belajar pada Filsuf Mc Taggart dan James Ward. Iqbal juga mengikuti kursus tentang hukum dan melanjutkan studi ke Jerman mengambil gelar Doktor (Ph.D) dan pada 4 November 1907, Iqbal berhasil mempertahankan disertasi Doktornya berjudul the Development of Methaphysics in Persia. Iqbal juga pernah berprofesi sebagai Advokat dan mengajar tentang Filsafat, Satra Arab dan Inggris di Government College.
Iqbal juga terlibat aktif dalam kegiatan politik dinegerinya. Ia menerjunkan diri dalam upaya kemerdekaan umat Islam untuk mengatur hidupnya sendiri terlepas dari dominasi Hindu India. Iqbal melihat bahwa selama ini tidak ada keharmonisan hubungan Muslim-Hindu di India. Umat Islam selalu menjadi korban Agitasi politik orang-orang Hindu. Karena itu, ketika teman-temannya mencalonkannya menjadi anggota Dewan Legislatif di Punjab, Iqbal tidak keberatan menerimanya. Selain di Dewan Legislatif, Iqbal juga menjadi salah seorang tokoh teras Liga Muslim, organisasi politik umat Islam yang menuntut negara sendiri yang terpisah dari dominasi Hindu. Di partai ini Iqbal mengkristalisasi gagasannya tentang pemisahan umat Islam dalam suatu negara dari masyarakat Islam. Sebagai Presiden Konferensi Tahunan Liga Muslim di Allahabad, untuk pertama kalinya Iqbal menyampaikan pidato dan seruannya untuk pembagian India menjadi dua bangsa. Baginya, umat Islam hanya dapat tetap hidup dan bertahan di bumi India dengan memiliki pemerintahan sendiri yang terlepas dari dominasi umat Hindu. Dalam sebuah suratnya kepada Muhammad Ali Jinnah, Iqbal menyatakan bahwa jalan terbaik yang bisa mengantarkan perdamaian di India adalah pemisahan negeri tersebut berdasarkan prinsip-prinsip ras, keagamaan, dan bahasa.[2]
Sejak tahun 1935, kondisi kesehatan Iqbal menurun drastis. Penyakit kencing manis yang dideritanya semakin menggrogoti Iqbal. Akhirnya, pada 21 April 1938 Iqbal mengembuskan napas terakhir. Meskipun tidak sempat menyaksikan wujud impiannya berdirinya satu negara tersendiri di anak Benua India, cita-cita ini dilanjutkan oleh temannya Muhammad Ali Jinnah. Pada 15 Agustus 1947, umat Islam pun berhasil mendapatkan satu negara merdeka yang terlepas dari Hegemoni Hindu dengan nama Pakistan.[3]
2.      Mustafa Kemal Ataturk
Mustafa dilahirkan pada 1881 di kota Salonika, Yunani sekarang. Orang tuanya berasal dari keluarga Religius dan menginginkan supaya Mustafa besar dalam suasana Religius pula. Ayahnya, Ali Riza, adalah pegawai rendahan dikantor pemerintah kota tersebut. Sementara ibunya, Zubayda, adalah seorang perempuan yang memiliki rasa keberagamaan yang dalam. Semula ibunya mengirim Mustafa ke Madrasah, tetapi ia tidak merasa betah dan selalu melawan gurunya. Orang tuannyapun kemudian memindahkannya kesekolah dasar modern di Salonika. Selanjutnya, karena tertarik pada lapangan militer, ia masuk sekolah menengah militer atas usahanya sendiri. Dilapangan militer inilah agaknya jalur hidup Mustafa. Berturut-turut kemudian ia melanjutkan pendidikan pada sekolah latihan militer di manstir dan sekolah tinggi militer di Istanbul. Pada tahun 1905, ia menyelesaikan pendidikan militer dengan pangkat kapten.[4]
Berdasarkan hasil bacaan, penulis mensimpulkan bahwa karena kecerdasan Mustafa dalam bidang matematika pada masa pendidikan militernya ia mendapatkan gelar tambahan yaitu “Kemal” yang berarti yang sempurna, sehingga namanya menjadi Mustafa Kemal. Dan atas jasanya pula terhadap perubahan Turki Usmani menjadi bangsa Turki Modern ia memperoleh gelar “Ataturk” yang berarti Bapak Turki, sehingga namanya menjadi Mustafa Kemal Ataturk. Kemal menolak keabsolutisme Sultan Abdul Hamid dan ingin membebaskan Turki dari depotisme penguasa anti-pembaharuan serta menyelamatkan Turki Usmani dari kekalahan oleh penjajahan Bangsa Eropa. Melalui gerakan Kemal yaitu Perkumpulan Vatan (Tanah Air) ia memberontak absolutisme Sultan dan sempat di tahan dan diasingkan ke Syria, namun setelah itu Kemal kembali membentuk perkumpulannya dengan sebutan baru yaitu Vatan ve Hurriyet Cemiyeti (Perkumpulan Tanah Air dan Kemerdekaan) yang dibantu oleh temannya bernama Ismed Isnonu (Ismed Pasha) sebagai perdana menteri.
Kemal meninggal tanggal 10 November 1938 dengan membawa perubahan siqnifikan bagi bangsa Turki dan sekaligus meninggalkan kontroversi di dunia Islam. Ia dipuji oleh bangsa Turki sebagai Bapak Turki yang membebaskan Turki dari belenggu despotisme penguasa Kerajaan Turki Usmani dan sekutu. Namun sebaliknya, ia dianggap sebagai orang yang paling bertanggung jawab atas terjadinya sekularisasi di dunia Islam.[5]

3.      Muhammad Asad
Nama lengkapnya ketika dilahirkan adalah Leopold Weiss, sedangkan Muhammad Asad adalah namanya setelah ia memeluk Islam. Ia dilahirkan di lingkungan keluarga Yahudi, Lamberg (Polandia), pada tahun 1900 dan wafat pada usia 80 tahun.[6]
Berdasarkan hasil bacaan, penulis mensimpulkan bahwa Muhammad Asad kelahiran Austria pada tanggal 12 Juli 1900 dengan nama Leopold Weiss, belajar kitab-kitab suci Yahudi-Keristen dengan bahasa Ibrani-Aramea, Polandia dan Jerman. Belajar sejarah, Falsafah dan Psikologi, pernah menjadi Wartawan United Telegraph di Berlin (1921),Wartawan Frankfurter Zeitung dan Koresponden di Timur Tengah (1922-1926). Masuk Islam di Berlin dan memilih nama Muhammad Asad (1926), tinggal di Hejaz dan Najd, Saudi Arabia (1926-1932). Menjelajah wilayah-wilayah negeri Islam (1932-1947) kecuali Asia Tenggara, bersahabat dengan tokoh-tokoh Islam, termasuk Raja Abdul Aziz Ibnu Saud di Arabia dan Muhammad Iqbal di India sekarang Pakistan. Membatalkan rencana ke Indonesia dan Asia Tenggara karena ditugaskan membentuk dan mengepalai Departemen Rekonstruksi Islam Pakistan (1947-1951), mengepalai bagian Timur Tengah Kementerian Luar Negeri Pakistan, menjadi Duta tetap Pakistan untuk PBB. Muhammad Asad juga menulis beberapa karyanya yaitu Islam at the Crossroads (1935), The Road to Mecca (1952) dan The Message of the Quran. Muhammad Asad diangkat sebagai warga negara kehormatan di berbagai negeri Islam, terakhir tinggal di Maroko, dan wafat pada tanggal 20 Februari 1992 di Spanyol.
Muhammad Asad adalah Ilmuwan Muslim yang produktif menurunkan pikirannya dalam bentuk buku dalam berbagai bidang sepanjang hidupnya, seperti Pendidikan, Ekonomi, dan Kenegaraan. Muatan kenegaraannya dituangkan dalam beberapa karya yang berurutan secara sistematis. Karya-karya Asad, antara lain:[7]
a.       Islam at the Crossroads: Buku ini merupakan buku yang penuh dengan pernyataan dan bukti-bukti konkret tentang nasib umat Islam di tengah-tengah peradaban Barat.
b.      The Principles of State and Government in Islam: Buku ini membahas tentang kenegaraan, yang komplet dengan konsep-konsep negara Islam.
c.       Terjemahan Shahih al-Bukhari: Buku ini merupakan kumpulan dari beberapa Hadis Nabi SAW yang dikutip Asad dan dibukukannya pada tahun 1952, yang berkaitan dengan kehidupan sosial politik umat Islam yang dijadikannya sebagai landasan konstitusi negara Islam Pakistan.
d.      Minhaj al-Islam fi al-Hukm: Buku ini merupakan kumpulan dan pengembangan dari buku The Principles of State and Government in Islam. Boleh dikatakan buku ini memuat seluruh pemikiran kenegaraan Muhammad Asad.
Berdasarkan hasil bacaan, penulis meringkas beberapa kutipan kalimat dalam buku Muhammad Asad yang berjudul Islam at the Crossroads yang diterjemahkan oleh M.Hashem dalam edisi Indonesia berjudul Islam di Simpang Jalan, beberapa kutipan kalimat tersebut yaitu:
Bagian pertama, Jalan Islam yang terbuka: “Pengetahuan moral secara otomatis memaksakan tanggung jawab moral atas manusia, dalam Islam moralitas hidup dan mati bersama perjuangan manusia untuk menegakkan kejayaan moralitas itu dimuka bumi”.[8]
Bagian kedua, Semangat Barat: “Untuk melangkah lebih jauh dan meniru jiwa kebudayaan Barat, mode hidup dan organisasi kemasyarakatannya, tidaklah mungkin tanpa memberikan pukulan maut terhadap kehidupan Islam sebagai bentuk pemerintahan Ketuhanan dan agama yang praktis”.[9]
Bagian ketiga, Bayangan Perang Salib: “Kita sedang memimpikan sinar Islam memancar ke wilayah-wilayah jauh, sementara dalam wilayah sekitar kita sendiri pemuda Islam sedang meninggalkan medan harapan kita”.[10]
Bagian keempat, Tentang Pendidikan: “Apabila kita hendak mempertahankan realitas Islam sebagai satu faktor kultural maka kita harus waspada terhadap suasana Intelektuil peradaban Barat yang kini sedang menaklukkan masyarakat kita dan kecendrungan-kecendrungan kita”.[11]
Bagian kelima, Tentang Meniru: “Problema yang menantang kaum Muslimin sekarang iyalah problema Musafir yang tiba di simpang jalan. Ia dapat diam ditempatnya, tetapi ini berarti mati kelaparan. Ia dapat memilih jalan yang bertanda “Menuju Peradaban Barat” tetapi kalau demikian maka ia harus meninggalkan masa lalunya untuk selama-lamanya. Atau ia memilih jalan yang bertanda: “Menuju Realitas Islam”. Jalan ini saja yang dapat tampil bagi mereka yang percaya akan masa lalu mereka dan percaya akan kemungkinan peralihan kedalam masa depan yang hidup”.[12]
Bagian keenam, Hadits dan Sunnah: “Menafsirkan ajaran-ajaran Al-Qur’an sesuka hati mereka, atas garis “rasionalisme” yang dangkal-yaitu masing-masing sesuai dengan kecendrungan dan palingan pikirannya”.[13]
Bagian ketujuh, Jiwa Sunnah: “Islam tidak menekankan yang tidak mungkin pada kita tetapi mengarahkan kita bagaimana mengambil manfaat yang sebaik-baiknya dari segala kemungkinan-kemungkinan kita dalam mencapai wilayah realitas yang lebih tinggi dimana tidak ada penyimpangan dan dimana tidak ada tabrakan antara ide dan perbuatan. Mengikuti segala yang dilakukannya dan yang diperintahkannya adalah mengikuti Islam, meninggalkannya berarti meninggalkan realitas Islam”.[14]
Penulis berpendapat bahwa isi kalimat dari buku Muhammad Asad ini adalah penjelasan bagaimana bangsa Barat menyikapi Islam dan isu pertentangan bangsa Eropa terhadap umat Islam dalam hal Perang Salib beberapa ratusan tahun lalu dan penjelasan mengenai pendidikan umat Islam yang terpengaruh budaya Barat mengenai metode, pola dan gaya yang bertentangan dengan ajaran agama Islam.

C.    Pemikiran Tokoh Politik Islam
1.      Muhammad Iqbal
Individu, ego, pribadi atau khudi adalah bagian terpenting dalam filsafat Iqbal. Filsafat khudi-nya merupakan dasar yang menopang gagasan-gagasannya tentang politik kenegaraan dan menjadi landasan bagi seluruh konstruksi pemikirannya. Di sisi lain, filsafat khudi Iqbal merupakan jawaban atas keprihatinannya terhadap kolonialisme bangsa-bangsa Barat yang menguasai hampir seluruh dunia Islam.[15]
Untuk memperoleh tingkat insan kamil, menurut Iqbal, Manusia harus melalui tiga tahap pendidikan, yaitu ketaatan kepada hukum, pengendalian diri, dan kekhalifahan Ilahiah.[16]
Iqbal mengemukakan bahwa manusia itu tak dapat diperbudak baik oleh ras, agama, batas-batas sungai atau oleh barisan gunung-gunung. Sekelompok besar manusia, yang memiliki pikiran sehat dengan hati yang penuh semangat, dapat saja membentuk kesadaran moral yang biasa disebut bangsa.[17]
Penulis berpendapat bahwa maksud dari pemikiran Iqbal tersebut adalah keadaan umat Islam india yang terpengaruh oleh kelompok umat Hindu sehingga umat Islam india kurang berperan dalam mempelajari ajaran Islam dan konstruksi masyarakat Islam, maka Filsafat Khudi merupakan dasar penompang utama untuk menumbuhkan karakter umat Islam dalam suatu bangsa agar meraih kemajuan yang disiplin ilmu agama dan kehidupan dunia untuk mecapai manusia yang sempurna (Insan Kamil).
Bagi Iqbal, tidak ada pemisahan antara spiritual dan materiil, agama dan negara. Keberadaan agama adalah untuk mengembangkan kedua aspek tersebut dan menyelaraskannya dengan keinginan-keinginan Tuhan. Negara harus mampu menjabarkan prinsip-prinsip tauhid yang mengacu pada persamaan, kesetiakawanan, dan kebebasan. Negara merupakan usaha untuk mentransformasikan prinsip-prinsip tersebut ke dalam kekuatan ruang dan waktu.[18]
Penulis berpendapat bahwa  agama dan negara tidak dapat dipisahkan karena agama merupakan suri teladan dalam penerapan Syariat untuk kemaslahatan negara, sebagaimana doktrin Kenabian Muhammad sebagai negarawan di Madinah yang tidak memisahkan antara agama dan negara.
Bagi Iqbal, antara politik pemerintahan dan agama tidak terdapat pemisahan. Memang, pandangan ini bukanlah sesuatu yang baru dalam poltik Islam. Pemikir-pemikir politik Islam abad klasik dan pertengahan juga menyatakan perlunya penyatuan antara agama dan negara. Abu al-Hasan al-Mawardi, umpamanya, menyatakan bahwa khilafah (pemerintahan) dibentuk untuk menggantikan fungsi kenabian. Gunanya adalah demi memelihara agama dan mengatur kehidupan dunia.[19]
Penulis berpendapat bahwa sistem politik Islam adalah sistem politik yang berlandaskan hukum Islam dan keadilan serta untuk kemaslahatan umat.
Menurut Iqbal, Islam mengubah asas demokrasi dari penindasan ekonomi ke penyucian rohani dan pengaturan rohani yang lebih baik.[20]
Penulis berpendapat bahwa demokrasi Barat merupakan demokrasi yang sekuler sehingga peran agama dalam penataan moral dan etika tidak terterapkan dalam pemerintahan, sehingga terjadinya pemyimpangan-penyimpangan dalam perpolitikan.
Bahkan Iqbal menuduh Eropa (Barat) sebagai penghambat terbesar bagi kemajuan etika dan moralitas umat manusia. Karena itu, Iqbal mendambakan sebuah sistem demokrasi yang dijiwai oleh nilai-nilai ke-Tuhanan.[21]

2.      Mustafa Kemal Ataturk
Dalam pemikiran Kemal, Turki Usmani tidak bisa maju karena terdapat hubungan yang erat antara Islam dan negara. Penguasa Usmani ketika itu menggunakan dua gelar sekaligus untuk kekuasaannya, yaitu gelar Khalifah untuk kekuasaan agama dan gelar Sultan untuk kekuasaan politik (duniawi). Bagi Kemal, ikut campurnya Islam dalam berbagai lapangan publik, termasuk politik, telah membawa kepada kemunduran Islam. Kemal membandingkan bahwa Barat berani meninggalkan agama dari lapangan politik dan melakukan sekularisasi sehingga melahirkan peradaban yang tinggi. Karena itu, kalau Turki mau maju dan modern, tidak ada jalan lain kecuali meniru Barat dengan melakukan sekularisasi juga. Masyarakat Turki harus diubah menjadi Barat.[22]
Sebagai realisasi dari gagasannya di atas, hal pertama yang dilakukan Kemal adalah menghapus jabatan sultan sebagai pemegang kekuasaan politik pada tahun 1922, dan ini disetujui oleh Majelis Nasional Agung. Selanjutnya, pada Oktober 1923, terjadi perubahan mendasar dalam pemerintahan Turki. Majelis Nasional Agung memutuskan Turki sebagai negara Republik, meskipun masih mencantumkan Islam sebagai agama negara. Namun demikian, konsep ini menimbulkan dualisme kepemimpinan dalam negara Turki, yaitu Presiden sebagai penguasa Eksekutif Tertinggi dan Khalifah di sini masih dipahami sebagai pengertian lama, yakni kepala negara juga. Ini yang menimbulkan kerancuan, sehingga akhirnya Kemal berpendapat bahwa jabatan Khalifah juga harus dihapuskan. Pada Februari 1924 dibicarakanlah di Majelis Nasional Agung tentang masalah ini. Akhirnya, pada 3 Maret 1924 disetujuilah penghapusan Khalifah. Khalifah Abdul Madjid sebagai penguasa terakhir dinasti Turki Usmani beserta keluarganya diperintahkan untuk meninggalkan Turki. Ia pun pergi ke Swiss. Inilah akhir riwayat Turki Usmani yang pernah berjaya sejak tahun 1300 M dan digantikan dengan Republik Turki Modern oleh Mustafa Kemal.[23]
Penulis berpendapat bahwa pemikiran Kemal sangat berbeda dengan pemikiran Iqbal yang menyatukan antara agama dan negara, Kemal menjalankan sistem sekularisasinya dengan tujuan kemajuan Turki Modern seperti negara Barat, yaitu negara harus netral dari prinsip agama.
Berdasarkan hasil arahan, penulis menambahkan tanggapan dosen pembimbing[24] bahwa Mustafa Kemal Ataturk melakukan kebijakannya pada tahun 1923 terdiri atas enam pilar, yaitu:
a.       Republik: bahwa negara Turki Modern menetapkan sistem demokrasi parlementer yang dipimpin oleh seorang Presiden, bukan Sultan ataupun Khalifah.
b.      Nasionalisme: bahwa bukan agama atau mazhab tertentu yang menentukan kewarganegaraan.
c.       Prinsip Kenegaraan: bahwa pemerintah berkuasa penuh mengurus ekonomi dan bukan intervensi atas kepentingan rakyat.
d.      Prinsip Populisme: bahwa adanya perlindungan HAM dan sama di mata hukum atau Equality Before of Law.
e.       Sekularisme: yaitu pemisahan antara urusan agama terhadap urusan politik kenegaraan.
f.       Revolusionisme: yaitu perubahan secara menyeluruh terhadap bentuk dan sistem kenegaraan.
Mustafa Kemal menyadari, sistem Kekhilafahan bisa menjadi jebakan bagi orang-orang yang ingin mengembalikan sistem kepada zaman kejayaan Islam di Turki. Ia menolaknya, Dia menetapkan bahwa negara harus dijalankan seperti yang berlaku di Eropa, tanpa harus melihat masa lalu atau tradisi yang pernah berlaku.[25]
Dia mengatakan bahwa revolusi rakyatnya terhadap pemerintahan mereka pada saat terjadinya Perang Dunia I, sebagai satu pengkhianatan dan tikaman atas bangsa-bangsa Arab, dan agar dia dapat membawa bangsanya kepada suasana Eropa.[26]
Penulis berpendapat bahwa selain Kemal merubah sistem negara menjadi seperti negara Barat dengan sistem sekularisasi, Kemal juga menetapkan beberapa Undang-undang pendidikan sekularisasi, penghapusan jilbab dan kerudung, penggunaan tulisan latin dan pelarangan tulisan Arab, pelarangan poligami dan pengharusan nikah terhadap masyarakat sipil, persamaan hak antara perempuan dan laki-laki dan pengharusan mempunyai nama keluarga seperti orang Barat serta merubah Azan dan khutbah Jumat dalam bahasa Turki dan terjemahan Al-Qur’an dalam bahasa Turki sebagai prinsip Nasionalisme Keturkian.
Menurut Harun Nasution, sekularisasi yang dilakukan oleh Kemal tidak sampai menghilangkan agama dan Kemal tidak berhasil membuat Turki lepas sama sekali dari ikatan agama, karena rakyatnya masi memegang teguh Islam. Semangat religiositas masyarakat Turki yang begitu dalam tidak serta-merta dapat dihapuskan dengan sekularisasi Kemal. Di sisi lain, negara juga membutuhkan lembaga-lembaga Islam.[27]

3.      Muhammad Asad
Asad mengatakan bahwa kekuasaan Tuhan tercermin dalam wadah negara Islam yang pada kenyataannya merupakan antitesis bentuk pemerintahan Teokratis, Monarkis, dan Kepausan. Bila dibandingkan, demokrasi Barat modern merupakan filsafat organisasi politik yang di dalamnya ada anggapan bahwa rakyat memiliki kedaulatan mutlak, sedangkan demokrasi yang dianut kaum Muslimin adalah suatu sistem yang di dalamnya rakyat hanya menikmati hak dan Kekhalifahan Tuhan yang memegang kedaulatan. Maka demokrasi dalam pandangan Islam ditentukan oleh hukum-hukum yang digariskan oleh Tuhan.[28]
Penulis berpendapat bahwa maksud pemikiran Asad adalah sistem pemerintahan negara Islam yaitu prinsip yang berlandaskan kepada Al-Qur’an, semua aturan negara berdasarkan Al-Qur’an dan setiap non-Muslim yang berada di negara Islam wajib mematuhi peraturan-peraturan negara Islam tersebut. Pemikiran Muhammad Asad juga beranggapan bahwa demokrasi yang diperankan oleh Islam lebih baik dibandingkan demokrasi Barat.
Asad menolak tentang bentuk tunggal negara Islam. Negara Islam bukan hanya satu, tetapi sangat banyak dan sangat tergantung kepada komunitas Islam untuk menentukan bentuk negara Islam yang dapat mereka sepakati. Penyerahan bentuk negara Islam tersebut kepada umat (kaum Muslimin) adalah dengan syarat bentuk negara Islam tersebut benar-benar sejalan dengan hukum Syara’ yang berkenaan dengan sistem kehidupan sosial.[29]
Penulis berpendapat bahwa maksud pemikiran Muhammad Asad adalah bernegara kaum Muslimim dilarang meniru sistem Barat, tetapi kaum Muslimin berhak membuat sistem negaranya sendiri yang sesuai dengan prinsip Islam dan harus didasari kesepakatan bersama.
Menurut Muhammad Asad pemerintahan masa al-Khulafa’ al-Rasyidun merupakan contoh dari sistem bernegara dalam Islam. Menurut Asad, pada akhirnya melahirkan konsep kenegaraan Islam yang pada pokoknya adalah bahwa bentuk kenegaraan Islam tidaklah satu model atau bentuk akan tetapi sangat banyak, seperti Monarki, Teokrasi, dan bahkan ada yang Liberal. Akan tetapi, kedaulatan yang dimiliki oleh manusia itu harus dibatasi oleh norma-norma yang datangnya dari Tuhan. Selanjutnya, pemerintahan hanya dibentuk oleh umat Islam dan merekalah yang menentukan dan mengaturnya. Dengan demikian, tidak ada klaim pribadi, golongan dan sebagainya, akan tetapi semuanya kesepakatan bersama umat Islam.[30]

D.    Kesimpulan dan Saran
1.      Kesimpulan yang dapat dirangkum dari hasil pembahasan ini adalah:
a.       Dalam kajian Fiqih Siyasah konsep pemikiran Muhammad Iqbal adalah tidak adanya pemisahan antara agama dan negara, agama dan politik pemerintahan. Tiang utama negara adalah doktrin tauhid dan kenabian Muhammad SAW. Politik Islam merupakan politik yang berlandaskan hukum Syara’ serta memiliki prinsip keadilan bermoral dan beretika. Sistem negara yang ideal menurut Muhammad Iqbal adalah sistem Khilafah dengan berlandaskan Demokrasi Islam yaitu demokrasi yang dijiwai oleh nilai-nilai keIslaman, tauhid sebagai asasnya dan hukum Tuhan sebagai landasannya. Pemikiran Muhammad Iqbal berkaitan dengan pengaruh gagasan filsuf Yunani kuno yaitu Aristoteles, Goethe dan Nietzsche Rumi.
b.      Konsep pemikiran Mustafa Kemal Ataturk adalah Sekularisasi yaitu pemisahan agama dan negara, merubah sistem negara Islam menjadi negara bersistem Barat, yaitu Republik Kesatuan. Kemal beranggapan bahwa ikut campurnya Islam dalam perpolitikan negara merupakan faktor kemunduran Islam. Merubah bahasa keseluruhan menjadi bahasa ke-Turkian, membentuk Peraturan Perundang-Undangan Sekularisasi dalam pemerintahan dan penerjemahan Al-Qur’an kedalam bahasa Turki. Pemikiran Mustafa Kemal Ataturk berkaitan dengan pengaruh gagasan pemikir politik Prancis yaitu August Comte, J.J.Roesseou dan Volteire.
c.       Muhammad Asad ialah seorang Ilmuan Muslim, konsep pemikiran Muhammad Asad adalah bernegara kaum Muslimin dilarang meniru sistem Barat, namun kaum Muslimin berhak membuat sistem negaranya sendiri yang sesuai dengan prinsip Islam dan harus didasari kesepakatan bersama. Demokrasi Islam lebih baik dibandingkan demokrasi Barat, karena menurut pemikiran Asad, Demokrasi Islam berlandaskan hukum Tuhan dan  Islam merupakan agama yang paling sempurna dan lengkap mencakup urusan kehidupan manusia dan kehidupan politik kenegaraan.
2.      Saran dari Penulis dalam penyusunan Makalah ini adalah:
Pemakalah menyadari masih terdapat banyak kekurangan dan masih jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kritik dan saran yang sifatnya membangun dari para pembaca dan penyimak dari makalah ini sangat diharapkan.
E.     Daftar Kepustakaan
Amin, Husyan Ahmad, Seratus Tokoh Dalam Sejarah Islam, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006.
Asad, Muhammad. Islam at the Crossroads, Terj. M, Hashem, Islam di Simpang Jalan, Bandung: Perpustakaan Salman ITB, 1983.
A.Mustofa, Filsafat Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2007.
Iqbal, Muhammad, 100 Tokoh Islam Terhebat Dalam Sejarah, Jakarta: Intimedia & Ladang Pustaka,  2008.
Muhammad Iqbal dan Amin Husen Nasution, Pemikiran Politik Islam Dari Masa Klasik Hingga Indonesia Kontemporer, Jakarta: Kencana, 2013.



[1] Muhammad Iqbal dan Amin Husen Nasution, Pemikiran Politik Islam Dari Masa Klasik Hingga Indonesia Kontemporer, (Jakarta: Kencana, 2013), h. 87.
[2] Muhammad Iqbal dan Amin Husen Nasution, Pemikiran Politik..., h. 89.
[3] Muhammad Iqbal dan Amin Husen Nasution, Pemikiran Politik..., h. 90.
[4] Muhammad Iqbal dan Amin Husen Nasution, Pemikiran Politik..., h. 105-106.
[5] Muhammad Iqbal dan Amin Husen Nasution, Pemikiran Politik..., h. 107.
[6] Muhammad Iqbal dan Amin Husen Nasution, Pemikiran Politik..., h. 155.
[7] Muhammad Iqbal dan Amin Husen Nasution, Pemikiran Politik..., h. 156-157.
[8] Muhammad Asad. Islam at the Crossroads, Terj. M, Hashem, Islam di Simpang Jalan, (Bandung: Perpustakaan Salman ITB, 1983), h. 30.
[9] Muhammad Asad. Islam at..., h. 56.
[10] Muhammad Asad. Islam at..., h. 74.
[11] Muhammad Asad. Islam at..., h. 89.
[12] Muhammad Asad. Islam at..., h. 99.
[13] Muhammad Asad. Islam at..., h. 115.
[14] Muhammad Asad. Islam at..., h. 132-133.
[15] Muhammad Iqbal dan Amin Husen Nasution, Pemikiran Politik..., h. 94.
[16]Muhammad Iqbal dan Amin Husen Nasution, Pemikiran Politik..., h. 95.
[17]A.Mustofa, Filsafat Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2007), h. 333.
[18] Muhammad Iqbal dan Amin Husen Nasution, Pemikiran Politik..., h. 101.
[19]Muhammad Iqbal dan Amin Husen Nasution, Pemikiran Politik..., h. 92-93
[20]Muhammad Iqbal dan Amin Husen Nasution, Pemikiran Politik...., h. 102-103.
[21] Muhammad Iqbal dan Amin Husen Nasution, Pemikiran Politik..., h. 99.
[22] Muhammad Iqbal dan Amin Husen Nasution, Pemikiran Politik..., h. 108-109.
[23] Muhammad Iqbal dan Amin Husen Nasution, Pemikiran Politik..., h. 109.
[24] Febri Nasra Ekhsan, Dosen STAIN Teungku Dirundeng Meulaboh, 2018.
[25]Husyan Ahmad Amin, Seratus Tokoh Dalam Sejarah Islam,(Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006), h. 307.
[26]Muhammad Iqbal, 100 Tokoh Islam Terhebat Dalam Sejarah, (Jakarta: Intimedia & Ladang Pustaka, 2008), h. 193.
[27] Muhammad Iqbal dan Amin Husen Nasution, Pemikiran Politik..., h. 111.
[28]Muhammad Iqbal dan Amin Husen Nasution, Pemikiran Politik..., h. 165.
[29] Muhammad Iqbal dan Amin Husen Nasution, Pemikiran Politik..., h. 160.
[30] Muhammad Iqbal dan Amin Husen Nasution, Pemikiran Politik..., h. 168.